Selasa, 28 Januari 2014

Pelukan Angin dalam Angan

Matahari terang, tapi awan gelap mengikat kuat mendung yang bergelayut pilu menawarkan sembab di wajah langit. Angin bertiup dingin menembus baju gamis tebal yang aku kenakan. Duduk di sofa yang empuk untuk menunggu kehadiran sosok papa dari balik pintu pagar. Mata ini perlahan menutup, sedikit demi sedikit dan membuat aku benar-benar tertidur.
Hai, sapaan yang sudah beribu kali kulatih dan kubayangkan. Pertemuan seperti apa, tatapan seperti apa dan pelukan seperti apa yang akan kita temukan pada akhirnya kita ditemukan.
“Selamat pagi,” sapanya. “Seperti apa kehidupan anak Mama sekarang?”
“Vea punya banyak teman, bukit pasir juga matahari dan angin yang tetap setia bersama Vea, serta kenangan. Vea tidak mau memaksakan kenangan itu pergi, karena mereka lebih nyata dari kenyataan yang Vea hadapi sendiri. Vea ingin mereka menghilang, tanpa harus Vea paksakan. Perlahan mereka akan terbang, meninggalkan hari ini dan menjadi bagian kemarin yang ‘berhasil’ Vea lewati bersama mama, serta sahabat-sahabat yang sesekali ingin mendengarkan Vea bercerita. Kadang-kadang di sini hawanya panas sekali Ma, tapi masih bisa Vea tahan. Seperti apa hidup Mama di atas sana?”
“Disini juga ada matahari dan angin, tetapi yang menyenangkan adalah mama bisa bepergian di langit dan melihat lebih banyak. Mama berharap suatu hari kita akan duduk seperti apa yang mama lakukan sekarang, berada di tepian jembatan yang membelah sungai panjang di bawahnya”
“Mama pernah gak ya inget Vea saat Mama sedang mendapatkan kebahagiaan? Ma, ada banyak hal yang ingin Vea ceritain ke mama, mulai dari apa yang terjadi di sekolah hingga bagaimana sepinya di rumah, saat mama tidak ada”
“Manis, kita akan mengantar mimpi-mimpi kita pada tempatnya yang baru, jadi kamu harus menunggu dahulu”, sebelum mama memalingkan muka, aku melihat senyum yang tulus dari bibir mama, hangat.
***
Senyum, adalah hal yang entah sudah berapa ribu kali kulatih dan kubayangkan. Raut seperti apa, tarikan garis seperti apa, jajaran gigi seperti apa yang akan kutemukan, atau akankah kau memiliki lesung di pipi yang mirip bintang ketika pada akhirnya kita saling menemukan. Walaupun, ternyata pada akhirnya kita tidak pernah sempat dipertemukan.
Aku terbangun dari tidur siangku. Mimpi, lagi lagi aku bermimpi pada siang bolong. Halusinasi yang bila aku ceritakan pada Papa yang aku merasa sedikitpun Papa tak akan percaya. Papa bilang aku terlalu rindu pada mama atau mungkin itu mama yang terlalu rindu padaku. “Tak ada seseorang yang bermimpi pada siang hari sayang”, hanya tersenyum menghibur, karena hanya sedikit yang Papa tahu tentang mimpiku, Papa terlalu sibuk.
Dimana Mama? Beliau sudah ada di tempat terbaik dari tempat mana pun yang bisa diberikan Allah kepadanya. Di sana tak ada kesakitan yang 8 tahun ini memeluknya erat. Aku tahu dia bahagia. Wajahnya cantik saat terakhir kali saya mencium kening, pipi dan dagunya.
Ma, sebentar lagi usia Vea bertambah, boleh Vea mengharapkan lagi kejutan-kejutan yang selalu mama berikan pada Vea?, atau mungkin Vea harus melakukannya sendiri karena tak ada waktu dari ayah. Berangkat ketika Vea sarapan dan pulang ketika Vea sudah tertidur pulas. Ma, Vea kuatkan, Ma? Tolong tetap genggam tangan Vea, jangan lepaskan sebelum Vea benar-benar mau dan siap menghadapi kebahagiaan saja.
***
Tepat pukul 12 malam ada yang mengetuk pintu kamarku. Kuberanikan diri untuk membukanya dan melihat siapa yang berada di baliknya. Wuuuss.. Angin berhembus tenang dan dingin, mungkin bibi lupa menutup jendela di sebelah lemari kaca, atau apa ini? Aku mencium bau yang tak asing lagi, parfum mama. Aku takut, tapi mama bilang aku tak boleh takut dengan semua kegelapan ini, mama sudah membiasakanku dengan kegelapan-kegelapan yang mama ciptakan, seperti mematikan lampu kamarku ketika hendak kembali ke kamar beliau. Aku berjalan pelan-pelan sambil melihat kanan kiri. Tak ada siapa-siapa.
Duk..aku menendang sesuatu, sebuah kotak yang di dalamnya terdapat sebatang lilin beserta korek apinya, note book yang biasa mama tuliskan lagu-lagu yang aku suka dan sepucuk surat, “Halo sayang, mama tau anak mama itu pemberani. Mama punya permainan buat kamu, kamu tau kan harus kemana setelah melihat apa yang mama berikan? Pergilah ke tempat itu dan mama punya pesan untukmu, jangan nyalakan lampu, mama tahu kamu hebat. Cukup gunakan apa yang mama berikan, Cantik”.
Deg..Mama? Apa yang akan mama berikan? Apa ini yang beliau rencanakan sebelum pergi meninggalkanku. Aku tak tahu, tapi aku masih ingin mengikuti permainan “mama”.
Aku melangkah terus dengan sebatang lilin di tangan, menuju ke ruang tengah yang ada pianonya. Piano yang selalu ku gunakan dengan mama. Menyanyikan lagu-lagu yang kusuka diiringi oleh mama. Sebenarnya mama sudah sangat sabar mengajariku memainkan alat musik tersebut, tapi dulu aku masih ingin mama yang memainkannya untukku.
Aku mulai melihat piano mama, lalu melihat ada sesuatu di atas piano tersebut. Mug berwarna merah dengan tulisan “Ini Punya Vea” di sebelah gagangnya. Bibi selalu membuatkan susu di gelas ini. Memberikanku pada saat sarapan dan sebelum tidur, dan di sebelahnya ada petunjuk dari “mama”. “Selamat datang di tempat pertamamu sayang, tak ada apapun kan di perjalananmu ke sini? Ayo manis, kamu sudah tau kan harus kemana?”. Dapur, tiba-tiba aku memikirkan tempat selanjutnya adalah dapur. Pikiranku menuju dimana bibi membuatkan susu untukku, tapi bukankah dapur terlalu jauh dari ruang tengah ini. Aku harus melewati ruang tengah, melewati kamar papa, kemudian melewati kamar bibi barulah aku sampai di dapur .ini terlalu jauh ma, Vea takut. Wuss.. Kembali ada angin yang berhembus dan kembali aku mencium parfum mama, sangat khas.
Entah mengapa setelah kejadian itu aku seperti mendapatkan semangat untuk melanjutkan “permainan” ini. Tak terasa aku sudah melewati ruang tengah, kamar papa dan kamar bibi. Aku melihat ada yang aneh di atas lemari es. Aku menuju ke arah lemari es dan mengambil sesuatu di atasnya. Dasi dan peralatan kantor papa. “Papa tidak disiplin ya sayang, menaruh barang penting di sembarang tempat”.
Munghkin papa terlalu capek sehabis kerja kemudian meletakkan dasi dan peralatannya di atas lemari es lalu menuju kamar untuk istirahat. Ah aku harus ke ruang kerja papa yang berada di lantai dua. Papa, Papa mengganggu permainan Vea dengan “mama”. Vea harus ke atas dan mengembalikan peralatan Papa pada tempatnya. Aku bereskan semua peralatan papa lalu meuju ke ruang kerja beliau.
Setibanya di ruang kerja papa, kutaruh semua alatnya di atas meja kerjanya dan membaca surat dari “mama”, ada pohon kaktus di sana, tumbuh subur pada pot mungil yang papa belikan untukku saat bisa menaiki sepeda tanpa bantuan. Aku dan mama suka menanam tanaman, mama lebih suka menanam bunga-bunganya pada tanah kosong di belakang rumah, sekarang sedang musimnya bunga-bunga yang mama tanam mengeluarkan kuncup, sedang aku lebih suka menanam katus mungil di dalam pot bunga. Mama juga suka menanam menanam bunga-bunganya dalam pot, tapi bunga-bunga yang sedikit memerlukan cahaya, dan mama meletakkan bunga-bunga dalam pot itu di sebuah gudang kecil di belakang rumah. “Kamu hampir menyelesaikan semuanya sayang!”
Gudang tempat mama meletakkan bunganya. Aku harus ke sana. Wuss..kembali kucium parfum mama, dan baru kali ini aku merinding karena mencium bau mama. Ma, apa mama melihat kerja kerasku?
Aku menuju gudang dengan opini-opini yang ada di kepalaku. Berbagai kemungkinan aneh di luar batas pemikiran manusia. Aku sudah berada di depan pintu gudang. Kutatap setiap sudut dari pintu itu.
“Ma, sudah lama Vea gak ke sini, maafkan Vea tidak menjaga milik mama dengan baik ya Ma”
Kubuka pintu gudang pelan-pelan dan tiba-tiba lampu gudang menyala. Ada papa di sana. Tertidur dengan kepala di atas meja luas, meja yang terdapat kua tart cantik dan beberapa kotak hadiah. Kulihat muka papa, beliau terlihat begitu lelah. Kemudian kulihat setiap sudut gudang ini. Papa sudah berusaha keras menghias gudang ini menjadi indah. Papa melakukannya ini untukku. Papa terbangun, kemudian menatapku bingung.
“Maaf, maafkan Papa. Papa sampai ketiduran di sini, jam berapa ini? Papa tadi sudah mau membangunkanmu. Tapi Papa malah tertidur di sini. Maaf, maafkan papa sayang. Selamat ulang tahun yang ke-15 anak perempuan papa. Maaf papa selalu tidak ada waktu buat Vea akhir-akhir ini”
Papa memeluk aku dengan eratnya, seperti tidak ingin melepaskan putri kecilnya ini. Sepertinya papa benar-benar merindukanku. Aku yang berubah menjadi pembangkang setelah ditinggal mama, tidak bisa menerima Papa yang masih “asik” dengan pekerjaannya.
“Oh ya sayang? Apa kamu suka kejutan ini? hmm bukan kejutan lagi ya? Papa sudah berusaha membuat semirip kebiasaan mama, tapi seperinya papa gagal melakukannya, papa tertidur setelah mengerjakan semuanya bahkan lupa membangunkanmu, hahaha, dan sekarang kamu malah sudah berdiri disini, jadinya kamu gak kaget dong ya. yah sayang banget ya”
Aku ikut tertawa bersama papa, lalu memeluk papa balik, memeluk dengan perasaan campur aduk. Tunggu dulu, kalau papa lupa untuk membangunkanku, lalu siapa yang mengetuk pintu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ke sini? Wuss..Angin berhembus kembali, dan parfum mama tercium sangat kuat. Aku merasakan ada angin yang memelukku dari belakang, anginnya dingin tapi terasa begitu hangat.
Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Ma.

Pustaka :
Febrin, Reva Aulia. 2013. Pelukan Angin dalam Angan. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.

0 komentar:

Posting Komentar

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner