Malam belum larut benar, jarum pendek
berada di kisaran angka sembilan. Angin dengan lembut membelai tubuh kurusku.
Aku sengaja membuka jendela kamar untuk menghirup udara, meskipun aku tahu
angin malam tidak baik untuk kesehatanku. Setelah seharian bekerja, saraf
mataku belum menunjukkan tanda akan datangnya kantuk. Kuambil undangan berwarna
biru laut bertuliskan, Muhammad Fahri kelas XII-IPS 3.
Dengan semangat, kubaca tulisan angka
romawi sambil anganku seakan melesat kenangan 20 tahun silam. Saat aku masih
berseragam putih abu-abu, ketika aku sangat menikmati masa-masa itu, jelas
tergambar wajah teman-teman anggota geng kelasku. Sandy, Udin, Riki dan Wendy.
Oh ya, aku jadi teringat Nova, gadis hitam manis yang sempat aku taksir tapi
keburu jadi pacar Riki. Kemudian Nana, cewek tinggi yang jago main basket juga
pernah menghiasi malam-malamku di sela-sela waktu belajar. Yang terakhir,
adalah siswi kelas X yang pernah juara olimpiade Matematika bernama Icha, dia
bahkan pernah pinjam buku matematikaku karena rumahnya bertetangga denganku.
Tapi semua cerita itu hanya berani kukisahkan melalui lembaran-lembaran
diary-ku. Aku selalu gagal mengumpulkan keberanian untuk menyatakan isi hatiku.
Aku juga sangat takut kalo ingat nasihat Ustadz Zainuri, guru Aqidah Akhlaq
tentang dosa orang berpacaran. “Jangan mendekati zina karena itu adalah
perbuatan keji”. Kalimat itu senantiasa terpatri rapi di palung hatiku. Aku pun
enggan menceritakan pergulatan batinku kepada teman sebangkuku, Sandy.
Lalu waktu aku mengenyam bangku kuliah, aku
hampir menikah dengan gadis pilihanku, semua rencana sudah disusun nyaris
sempurna, tapi sungguh disesalkan, lima hari menjelang hari pernikahan kami,
dia meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Aku sangat terpukul dan hampir
putus asa.
Dua tahun kemudian, orang tuaku menawarkan
gadis untuk kunikahi tetapi aku menolak karena merasa tidak ada chemistry. Kalau
trauma, sepertinya tidak karena aku sadar bahwa takdir Tuhan tidak bisa
ditolak. Aku selalu berpikir postitf bahwa Tuhan punya rencana yang lebih indah
atas semua ini.
Rasanya hari begitu cepat berlalu dan aku
belum juga menemukan pendamping yang cocok. Jodoh, rezeki dan mati memang
misteri. Aku sering sedih melihat ibuku yang mulai renta, satu-satunya
permintaan beliau yang belum bisa aku penuhi adalah menikah. Lebih pilu lagi
ketika menyaksikan ibu menyongket baju-baju bayi untuk cucu-cucunya kelak. “Ibu
ingin sekali menimang cucu”. Kalimat itu seakan menusuk batinku, perih sekali.
Tanganku kembali membolak balik sampul biru
laut, tertulis jelas, REUNI AKBAR. Mengengang 20 tahun silam aku belajar di
Jalan Letjend Suprapto 58 Kediri. Nama-nama temanku seakan bertaburan, kesana
kemari seenaknya memenuhi anganku. Aku membayangkan bagaimana wajah
teman-temanku, apakah tambah gemuk, berkumis, beruban dan seterusnya. Mata
merahku kupaksa terpejam meski semilipun tak sudi mendekat.
Matahari bersinar begitu cerah, tapi tidak
dengan hatiku. Hatiku berkecamuk antara senang dan gugup karena bertemu orang-orang dekat setelah 20 tahun berpisah.
Aku sengaja datang terlambat. Aku khawatir aku pasti ditanya soal pendamping.
Kata jomblo sungguh mengahantui pikiranku. Pasti kata itu akan kudengar hari
ini. Aku masih jomblo, ih...ngeri sekali kedengarannya.
Dengan dada sedikit berdegup, aku mengayuh
kakiku yang terasa berat menuju kerumunan massa yang hiruk pikuk menceritakan
tentang keluarga mereka.
“Apa kabar Fahri? Mana nyonyamu? Kok
sendirian saja”, sapa Sandy sambil menepuk pundakku seperti kebiasaan kami
dulu. Aku masih menata kalimat sebagai alasan kesendirianku, Sandy melanjutkan
kalimatnya.
“Bulan lalu aku baru khitankan anak
sulungku, anakku yang kedua akan masuk SD tahun ini”.
“Kamu habis Khitanan? Kok gak ngundang
kita-kita?” sahut Wendy yang sedang menunggu kelahiran anak ketiganya.
“Kalian pasti tidak perlu berkenalan dengan
istriku karena kalian adalah teman sekelasnya. Nova Aprilia sekarang berganti
nama menjadi Nyonya Nova Setiawan”, papar Riki Setiawan dengan bangganya.
“Bulan depan rencananya ada selapanan dan
aqiqoh anak keduaku, istriku seminggu yang lalu melahirkan anak kedua kami,
makanya dia absen sekarang, datang ya...” sambut Udin dengan berbinar.
Sementara teman-teman berkicau tentang anak-anak mereka, aku hanya bisa bengong
karena tak ada yang bisa kukisahkan.
Pulang dari tempat reuni, aku segera menuju
kamar dan mengunci rapat-rapat lalu aku menangis tersedu-sedu. Ah, cengeng
sekali lelaki macam aku, dalam tangisku, aku menghujat Tuhan, mengapa aku
diberi ujian seberat ini. Aku sangat ingin segera menikah dan memberikan cucu
bagi ibuku tercinta, tapi aku belum bisa. Di usiaku yang hampir kepala empat,
aku masih harus menyandang status jomblo. Sebenarnya aku sedang dengan seorang
gadis teman sekantorku, tetapi ibu menolak
tegas karena dia beda agama. Aku sangat mencintainya. Cinta memang complicated.
Bahkan belum ada ilmuwan manapun yang mampu mendefinisikan arti cinta
dengan valid. Awalnya aku tidak menyadari, tapi lama kelamaan sosok dia begitu
istimewa di hatiku. Aku pernah berusaha meyakinkan ibu bahwa aku akan
membimbingnya menjadi muslimah, tapi beliau tetap bersikukuh tidak setuju.
Air mataku belum kering ketika tiba-tiba
pintu kamarku diketuk seseorang. Dengan buru-buru kuseka air mataku sambil
kubuka pintu. Muncul wajah perempuan paruh baya yang mulai terlihat keriput di
wajahnya, ibu. Seorang ibu selalu tahu apa yang dirasakan anaknya tanpa harus
si anak bercerita. Dengan lemah lembut, ibu berkata,”Emak baru saja bertemu
Ustadz Zainuri, guru kamu Aliyah dulu. Beliau menanyakan kabarmu. Emak bilang
kamu masih jomblo dan ingin segera menikah. Beliau menyarankan agar kamu
melakukan tiga hal secara rutin, sholat malam, banyak sedekah, dan banyak
istighfar, insyaAllah hajatmu akan dikabulkan”. Tanpa menunggu jawabku
yang masih terisak, ibu beranjak pelan dengan merapatkan daun pintu kamarku.
Tiga bulan berlalu, aku berusaha melakukan
apa yang Ustadz Zainuri anjurkan. Suatu sore yang indah, secerah mendung sore
sehabis hujan, Nokia Asha-ku berdering. Nomor asing, batinku. “Hallo, Assalamualaikum,
maaf dengan siapa saya bicara?”
“Waalaikumsalam, ini dengan Ustadz
Zainuri, Fahri masih ingat kan? Tolong kamu ke rumah saya selepas
maghrib nanti, ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Datang ya, maaf saya
lagi di jalan, assalamualaikum” tut tut tut...
Suara di kejauhan langsung putus sebelum
aku menjawab salam. Hatiku jadi berdebar, tumben sekali beliau menelponku dan
menyuruhku ke rumahnya. Ah, aku tidak mau berpikir macam-macam. Kalau disuruh
ustadznya ya harus nurut.
Rumah Ustadz Zainuri memang agak jauh dari
rumahku, jadi aku perlu sekitar 45 menit untuk sampai. Setibanya di rumah,
telah menunggu dua orang lelaki paruh baya, seorang Ustadz Zainuri dan satunya
sepertinya aku kenal. Aku mencoba mengumpulkan memori di otakku tapi bleum juga
ketemu. Ustadz Zainuri langsung membuka percakapan. “Nak Fahri masih ingat
dengan Bapak di sebelah saya?” Ustadz Zainuri berkata sambil menoleh ke arah
lelaki yang mulai terlihat uban di balik kopyahnya.
“Saya Sudirman, dulu kita bertetangga, lalu
kami pindah ke Solo karena saya harus pindah tugas. ” Kalimat beliau pelan
menunjukkan kesahajaannya. Beliau adalah ayah Icha, adik kelasku yang pernah
juara olimpiade Matematika itu. Rupanya beliau masih mengenaliku meskipun lama
kami tidak bertemu.
“Icha sudah menikah selama 10 tahun dan
tidak dikaruniai anak, sedang suaminya telah meninggal setahun yang lalu. Saya
sudah bertemu ibu Nak Fahri, beliau ingin saya menanyakan langsung apakah Nak
Fahri bersedia menikah dengan anak kami, Icha” sambung beliau panjang lebar
sampai aku tak diberi kesempatan menyela. Subhanalloh, hatiku bergetar
hebat, sampai mulutku terasa kaku untuk mengucapkan sepatah kata pun. “Iya”.
Sesampai di rumah, kubuka lagi buku
diary-ku 20 tahun silam. Masih jelas tertulis nama Icha yang kutulis dengan
pena merah dihiasi spidol biru. I-C-H-A. GAK TERLALU CANTIK, TAPI DIJAMIN GAK
BOSAN PAS MEMANDANGNYA. Lucu sekali, lebih lucu dari komedi apapun, aku sampai
ngakak sendiri di kamar. Suaraku begitu keras sampai aku tak mendengar ibu
berkali-kali mengetuk pintu. “Fahri, Fahri... Ada penjahit yang akan mengukur
baju pengantinmu”, suara ibu dengan nada penuh kebahagiaan.
Pustaka :
Suliha S.Hum, Ifah. 2013. Jomblo. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.
0 komentar:
Posting Komentar