Kamis, 30 Januari 2014

Lelaki Itu


Tidak ada yang tahu pasti siapa lelaki paruh baya itu. Nama, asal-usul, tinggal di mana, dan dari keluarga mana, semuanya abstrak. Orang-orang mengenalnya hanya karena ia sering berjalan atau mungkin sekadar numpang lewat di depan deretan toko-toko, di Pasar Bauntung Kota Banjarbaru.
Setiap melewati deretan toko-toko dan lapak-lapak pedagang, lelaki itu selalu tampil rapi dan memasang wajah dingin. Ia tak pernah menyapa siapa pun, termasuk aku. Mungkin sifatnya memang begitu, tidak ingin bertegur sapa dengan orang yang tidak dikenalnya. Lelaki itu lewat dengan cara berjalannya yang khas. Setiap melangkahkan kaki kirinya, selalu dihentakkan keras-keras. Sementara untuk langkah kaki kanannya diseret sehingga menimbulkan bunyi gesekan.
“Gdebukk... Sreettt... Gdebukkk... Srettt...,” begitu kira-kira bunyinya. Aku tidak tahu apakah langkah itu dibuat-buat atau memang ada kelainan pada kakinya yang membuatnya lebih terlihat seperti orang pincang.
Ia lewat setiap hari dengan pakaian rapi seperti orang yang akan berangkat bekerja. Termasuk hari Minngu! Pertanyaan demi pertanyaan menyemai rasa ingin tahuku. Sebenarnya lelaki itu bekerja dimana? Apa dia juga pedagang seperti kebanyakan orang di sini? Tapi mengapa penampilannya lebih mirip seorang pegawai kantoran? Kalaui iya, kantor mana yang mempekerjakan pegawainya tanpa memberi hari libur?
Awalnya kira hanya aku, tapi ternyata banyak juga orang yang dibuat penasaran olehnya. Padahal kalau dipikir-pikir ia tidak lebih dari seorang leki-laki biasa pada umumnya. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja ia punya aura yang dapat merenda perasaan orang-orang tentang dirinya. Semakin hari semakin banyak saja orang yang membicarakannya. Mulai dari pembicaraan penampilannya, sikapnya dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang penting menurutku. Apa salahnya dia bergaya seperti itu. Mengatur penampilan diri itu memang hak setiap pribadi. Mengapa hal sepele itu banyak sekali diperdebatkan orang?
Semakin lama, semakin banyak orang yang menjadikan lelaki itu sebagai buah bibir. Tiap kali lelaki itu berjalan melewati toko-toko dan lapak-lapak, hampir semua mata tertuju padanya. Banyak orang yang penasaran akan siapa sebenarnya lelaki itu. Pernah beberapa orang yang penasaran pada lelaki itu mencoba membuntuti kemana ia pergi atau kemana ia pulang. Anehnya, tiap kali dibuntuti itu pula lelaki itu seperti menghilang tak tahu rimbanya.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Lelaki itu sungguh keterlaluan. Punya kekuatan apa dia sehingga kita dibuat penasaran akan dirinya!” ucap Haji Syukur, seorang pedagang daging.
“Iya betul. Rasa-rasanya otak kita seperti dicuci lalu dibilasnya dengan rasa penasaran,” Mahdah menambahi seraya tangannya sibuk menata sisa jagung dagangannya.
Haji Syukur nampak mengerutkan keningnya. Begitu pula pedagang-pedagang lain yang waktu itu ikut berkumpul setelah lelah seharian berjualan. Hingga timbul usulan agar para pedagang berkerja sama untuk beramai-ramai menangkap lelaki itu besok.
Benar saja, keesokan harinya seperti biasa lelaki itu muncul. Para pedagang mulai bersiap. Sebagian bahkan sudah berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk mendekati lelaki itu. Mereka bergegas mengepung dan rela membiarkan pelanggannya terdiam tanpa dilayani.
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Mungkin ia tahu bahwa kali ini ia tidak akan bisa lari lagi. Ia benar-benar sudah dikepung. Nyaris tak ada celah baginya untuk kabur. Kulihat ekspresi wajahnya tidak berubah. Tetap dingin dan kosong seperti biasanya.
Seorang dari pedagang dengan cepat menggerakkan tangannya untuk mencengkeram lengan lelaki itu. Namun ternyata lelaki itu tak kalah cepat mengelak. Tubuhnya yang kurus menghindar dan langsung berlari ke arahku, lalu menerobos pertahanan kepungan kami. Aku roboh seketika. Tak kusangka kekuatan lelaki itu boleh juga.
“Kejar!” pekik Haji Syukur geram.
Kami pun dengan segera mengejar ke arah lelaki itu kabur. Herannya, lelaki itu kembali menghilang tanpa jejak. Hilang. Ia benar-benar hilang dalam sekejap mata. Ia seperti bersenyawa dengan udara. Aku dan orang-orang penasaran ini hanya bisa menghela napas panjang seraya mengelus dada.
Sejak saat itu, berbagai macam spekulasi mengenai siapa lelaki itu makin menjadi-jadi. Ada yang menganggapnya hantu, manusia jadi-jadian, bahkan ada yang menganggap lelaki itu sebagai perwujudan malaikat.
Itu saat terakhir aku dan orang-orang pasar melihat lelaki itu. Ia tidak pernah muncul lagi sebulan belakangan ini. Entah karena ia takut dikepung dan diketahui identitasnya atau apa. Aku tidak tahu, yang pasti semenjak lelaki itu tidak pernah muncul, rasa penasaran itu perlahan ikut hilang. Kebanyakan dari kami sudah tidak lagi memedulikannya.
Sebelum subuh aku sudah siap mengawali hari dengan membuka lapakku. Ketika itu pasar masih terbilang sepi. Anehnya baru kali ini tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Kurasakan aroma dingin mengusap-usap leher dan telingaku.
“Gdebukk... Sreett... Gdebuk... Srettt..., suara itu!”

Pustaka :
Maulida, Evira Nida. 2013. Lelaki Itu. Malang : BESTARI.

0 komentar:

Posting Komentar

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner