Tidak ada yang tahu pasti siapa lelaki
paruh baya itu. Nama, asal-usul, tinggal di mana, dan dari keluarga mana,
semuanya abstrak. Orang-orang mengenalnya hanya karena ia sering berjalan atau
mungkin sekadar numpang lewat di depan deretan toko-toko, di Pasar Bauntung
Kota Banjarbaru.
Setiap melewati deretan toko-toko dan
lapak-lapak pedagang, lelaki itu selalu tampil rapi dan memasang wajah dingin.
Ia tak pernah menyapa siapa pun, termasuk aku. Mungkin sifatnya memang begitu,
tidak ingin bertegur sapa dengan orang yang tidak dikenalnya. Lelaki itu lewat
dengan cara berjalannya yang khas. Setiap melangkahkan kaki kirinya, selalu
dihentakkan keras-keras. Sementara untuk langkah kaki kanannya diseret sehingga
menimbulkan bunyi gesekan.
“Gdebukk... Sreettt... Gdebukkk...
Srettt...,” begitu kira-kira bunyinya. Aku tidak tahu apakah langkah itu
dibuat-buat atau memang ada kelainan pada kakinya yang membuatnya lebih
terlihat seperti orang pincang.
Ia lewat setiap hari dengan pakaian rapi
seperti orang yang akan berangkat bekerja. Termasuk hari Minngu! Pertanyaan
demi pertanyaan menyemai rasa ingin tahuku. Sebenarnya lelaki itu bekerja
dimana? Apa dia juga pedagang seperti kebanyakan orang di sini? Tapi mengapa
penampilannya lebih mirip seorang pegawai kantoran? Kalaui iya, kantor mana
yang mempekerjakan pegawainya tanpa memberi hari libur?
Awalnya kira hanya aku, tapi ternyata
banyak juga orang yang dibuat penasaran olehnya. Padahal kalau dipikir-pikir ia
tidak lebih dari seorang leki-laki biasa pada umumnya. Tidak ada yang istimewa.
Hanya saja ia punya aura yang dapat merenda perasaan orang-orang tentang
dirinya. Semakin hari semakin banyak saja orang yang membicarakannya. Mulai
dari pembicaraan penampilannya, sikapnya dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak
ada yang penting menurutku. Apa salahnya dia bergaya seperti itu. Mengatur
penampilan diri itu memang hak setiap pribadi. Mengapa hal sepele itu banyak
sekali diperdebatkan orang?
Semakin lama, semakin banyak orang yang
menjadikan lelaki itu sebagai buah bibir. Tiap kali lelaki itu berjalan
melewati toko-toko dan lapak-lapak, hampir semua mata tertuju padanya. Banyak
orang yang penasaran akan siapa sebenarnya lelaki itu. Pernah beberapa orang
yang penasaran pada lelaki itu mencoba membuntuti kemana ia pergi atau kemana
ia pulang. Anehnya, tiap kali dibuntuti itu pula lelaki itu seperti menghilang
tak tahu rimbanya.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Lelaki itu
sungguh keterlaluan. Punya kekuatan apa dia sehingga kita dibuat penasaran akan
dirinya!” ucap Haji Syukur, seorang pedagang daging.
“Iya betul. Rasa-rasanya otak kita seperti
dicuci lalu dibilasnya dengan rasa penasaran,” Mahdah menambahi seraya
tangannya sibuk menata sisa jagung dagangannya.
Haji Syukur nampak mengerutkan keningnya.
Begitu pula pedagang-pedagang lain yang waktu itu ikut berkumpul setelah lelah
seharian berjualan. Hingga timbul usulan agar para pedagang berkerja sama untuk
beramai-ramai menangkap lelaki itu besok.
Benar saja, keesokan harinya seperti biasa
lelaki itu muncul. Para pedagang mulai bersiap. Sebagian bahkan sudah berdiri
dan mengambil ancang-ancang untuk mendekati lelaki itu. Mereka bergegas
mengepung dan rela membiarkan pelanggannya terdiam tanpa dilayani.
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Mungkin
ia tahu bahwa kali ini ia tidak akan bisa lari lagi. Ia benar-benar sudah
dikepung. Nyaris tak ada celah baginya untuk kabur. Kulihat ekspresi wajahnya
tidak berubah. Tetap dingin dan kosong seperti biasanya.
Seorang dari pedagang dengan cepat
menggerakkan tangannya untuk mencengkeram lengan lelaki itu. Namun ternyata
lelaki itu tak kalah cepat mengelak. Tubuhnya yang kurus menghindar dan langsung
berlari ke arahku, lalu menerobos pertahanan kepungan kami. Aku roboh seketika.
Tak kusangka kekuatan lelaki itu boleh juga.
“Kejar!” pekik Haji Syukur geram.
Kami pun dengan segera mengejar ke arah
lelaki itu kabur. Herannya, lelaki itu kembali menghilang tanpa jejak. Hilang.
Ia benar-benar hilang dalam sekejap mata. Ia seperti bersenyawa dengan udara.
Aku dan orang-orang penasaran ini hanya bisa menghela napas panjang seraya
mengelus dada.
Sejak saat itu, berbagai macam spekulasi
mengenai siapa lelaki itu makin menjadi-jadi. Ada yang menganggapnya hantu,
manusia jadi-jadian, bahkan ada yang menganggap lelaki itu sebagai perwujudan
malaikat.
Itu saat terakhir aku dan orang-orang pasar
melihat lelaki itu. Ia tidak pernah muncul lagi sebulan belakangan ini. Entah
karena ia takut dikepung dan diketahui identitasnya atau apa. Aku tidak tahu,
yang pasti semenjak lelaki itu tidak pernah muncul, rasa penasaran itu perlahan
ikut hilang. Kebanyakan dari kami sudah tidak lagi memedulikannya.
Sebelum subuh aku sudah siap mengawali hari
dengan membuka lapakku. Ketika itu pasar masih terbilang sepi. Anehnya baru
kali ini tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Kurasakan aroma dingin mengusap-usap
leher dan telingaku.
“Gdebukk... Sreett... Gdebuk... Srettt...,
suara itu!”
Pustaka :
Maulida, Evira Nida.
2013. Lelaki Itu. Malang : BESTARI.
0 komentar:
Posting Komentar