Kamis, 30 Januari 2014

Cerpen Tak Bernama

Hari pembagian rapor adalah saat paling menegangkan bagiku. Aku bukan khawatir tidak naik kelas atau mendapat nilai jelek. Dari nilai-nilai ulangan harian yang dibagikan, aku yakin pasti naik kelas. Aku Cuma takut akan satu hal : posisi ranking kelas. Semester satu yang lalu, aku menempati ranking ke-2 di kelas.
“Sayang sekali, seharusnya kamu bisa dapat ranking ke-1...” Begitu reaksi Papa saat kutunjukkan rapor semesterku dengan bangga. Tak ada bedanya pula dengan Mama. Beliau hanya menyuruhku untuk lebih berusaha. Mereka sama sekali tidak memberikan pujian dan hal itu membuatku sedikit kesal. Rasanya, usahaku kurang dihargai. Huft, begitulah susahnya punya orang tua perfeksionis.
Semester ini, aku bertekad untuk mendapat ranking ke-1, bagaimanapun caranya.
Ranking pertama di kelas kita yaitu...” Pak Ari, wali kelas X-1 membacakan urutan posisi ranking di kelas kami.
Aku menggigit jari. Semoga aku! “...Myta. Selamat Myta!” Seluruh penghuni kelas bertepuk tangan, kecuali aku. Myta hanya tersenyum rendah hati seraya mengucapkan terima kasih dengan ringan. Raut mukanya memancarkan rasa bangga. Betapa kecewanya aku. Lagi-lagi aku kalah oleh Myta.
Ranking kedua ditempati oleh Celline dengan rata-rata rapor 9,1. Hanya berbeda 0,3 dengan Myta yang rata-rata rapornya 9,4”, puji Pak Ari. Tepuk tangan kembali terdengar. Aku hanya diam, menangguk, dan tersenyum pahit.
***
Liburan telah berlalu. Sekarang aku menduduki bangku kelas 2 SMP. Betapa kagetnya aku saat melihat sosok seorang cewek yang duduk di bangku belakang kursiku. Myta! Sebenarnya, aku mengeluh dalam hati karena untuk kesekian kali diriku harus bersaing dengannya untk merebut ranking ke-1. Aku bosan menjadi yang kedua, tertutup bayang-bayang Myta di bidang akademis.
Duduk di dekat Myta membuatku lebih mudah untuk mengorek banyak informasi. Satu hal yang membuatku penasaran, mengapa dia lebih unggul? Padahal, nilai kami dalam berbagai macam pelajaran hampir sama. Misalnya, dia mendapat 95, aku mendapat 94 atau sebaliknya. Kami saling mengimbangi.
Rasa penasaranku terjawab tanpa sengaja oleh Leoni, teman sebangku Myta.
“Ciee.. Miss writer kita hebat banget deh. Cerpen kamu dimuat lagi ya? Lumayan tuh buat nambah nilai bahasa Indonesia elo..” kata Leoni suatu hari. Suara Leoni yang cukup keras membuatku dapat mendengar percakapan mereka.
Myta tersenyum merendah. “Biasa aja kok. Tetapi, memang sih itu bisa membantu. Waktu aku kelas 1 dulu, Bu Cicil menghargai hasil karyaku. Beliau memang menambahkan nilai plus untuk tugas harian bahasa Indonesia tiap cerpen buatanku dimuat di majalah..” ujar Myta tanpa berusaha menyobongkan diri.
Aku mengerti sekarang. Memang, aku tidak terlalu berbakat dalam menulis cerpen atau karya sastra lainnya. Bagiku, hanya cukup mendapat nilai bagus. Ah, pokoknya aku harus bisa menulis cerpen, lebih baik daripada Myta, supaya ranking ke-1 semester ini ada di genggamanku, tekadku dalam hati.
***
Kesempatan itu datang begitu saja dua bulan kemudian. Pak Rendi, guru bahasa Indonesia kami, memberi lomba menulis cerpen di kelas kami. Temanya bebas. Yang penting menarik dan ceritanya orisinal. Pemenangnya akan mendapat nilai plus untuk ulangan harian bahasa Indonesia yang notabene cukup sulit.
Aku mencari ide berhari-hari. Namun, aku tidak menemukannya sama sekali.
“Lagi nulis apa, Mit?” tanyaku saat melihat Myta tengah sibuk menulis sesuatu di buku tulis saat jam istirahat.
“Oh, ini cerpen untuk tugas bahasa Indonesia. Sudah selesai, Cuma tinggal diketik di komputer. Sayang, komputer rumahku lagi error. Mungkin nanti siang aku ke warnet.”
“Kenapa nggak nitip ke aku saja? Biar aku ketikkan di komputer rumahku sekalian nanti kita kirim bareng via e-mail ke Pak Rendi.” Aku menawarkan diri. Sesungguhnya, aku penasaran, ingin tahu sebagus apa cerpen buatan Myta.
“Aku nggak enak ngerepotin, Lin.”
Aku menepis ucapan Myta seraya tertawa riang. Akhirnya, dia setuju, lalu memberikan alamat e-mail  beserta password-nya kepadaku.
***
Kagum. Ya, satu kata itulah yang bisa menggambarkan perasaanku saat membaca cerpen Myta. Tata bahasanya bagus, temanya menarik, alurnya tidak mudah ditebak, dan begitu..perfect. Aku? Merangkai satu paragraf saja sudah kesulitan. Aku tidak mungkin unggul daripada Myta kalau begini caranya.
Tiba-tiba, timbul suatu ide di benakku. Ide yang membuatku tidak yakin karena merasa telah berbuat curang, tetapi ada sebuah dorongan kuat untuk melakukannya. Aku mengirim cerpen tersebut ke e-mail Pak Rendi tanpa mencantumkan nama pengarang, baik cerpen Myta maupun cerpen karanganku yang baru saja kubuat. Kemudian, aku akan mengakui karya Myta sebagai milikku.
***
Jam bahasa Indonesia hari itu, Pak Rendi mengumumkan pemenang lomba menulis cerpen yang diadakannya.
“Pemenangnya adalah cerpen yang berjudul Senyuman Sang Seja.” Pak Rendi mengumumkan seraya tersenyum bangga.
Riuh ramai seisi kelas terdengar. Mereka penasaran siapa yang menulis cerpen tersebut karena Pak Rendi mengatakan tidak ada nama pengarang di cerpen itu. Beliau menyuruh penulisnya untuk datang ke kantor sepulang sekolah.
Aku tidak berani menatap Myta seharian, apalagi setelah Pak Rendi berkata demikian. Sempat kulihat keterkejutan dari mata Myta, tetapi dia memilih tidak berkomentar. Bahkan, dia bersikap biasa kepadaku. Semua membuatku merasa bersalah.
***
“Myt.. itu cerpenmu...” ujarku sepulang sekolah ketika tinggal kami berdua di ruang kelas. Aku memang ingin bicara empat mata dengan Myta.
“Aku yang menulis. Tetapi bukan berarti punyaku,” Myta tersenyum.
Aku semakin bertambah heran. Hei, kenapa dia malah tersenyum? Seharusnya, dia marah-marah kan? Aku telah seenaknya menjiplak karyanya.
“Kamu yang mengirimnya. Jadi, selamat Celline.. Cerpen kamu sudah menjadi yang terbaik..” Myta menyalami tanganku. Anehnya, aku tidak menangkap kesinisan dalam tutur kata ataupun perilakunya.
“Myta.. Itu punya kamu. Maafkan aku, Myt. Aku iri padamu.. Aku selalu jadi ranking ke-2.” Sejurus kemudian, aku menangis tersedu. Aku menceritakan semuanya kepada Myta dan berkali-kali meminta maaf. Myta hanya diam, mendengarkanku sambil berkata tidak apa-apa.
“Celline, aku tidak marah kepadamu. Tetapi, aku cuma mau kamu lebih menghargai hasil karyamu. Sebab, bagaimanapun, hasil karya kita yang paling berharga.”
Kata-kata Myta seolah membuka mataku. Dia benar. Aku tidak boleh iri kepada orang lain, karena aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Kerja kerasku..
Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mengakui cerpen ini sebagai karya Myta di hadapan Pak Rendi nanti. ***

Pustaka :
Johari, Dea Clarissa. 2011. Cerpen Tak Bernama. Jember : Jawa Pos.

0 komentar:

Posting Komentar

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner