Hari pembagian rapor adalah saat paling
menegangkan bagiku. Aku bukan khawatir tidak naik kelas atau mendapat nilai
jelek. Dari nilai-nilai ulangan harian yang dibagikan, aku yakin pasti naik
kelas. Aku Cuma takut akan satu hal : posisi ranking kelas. Semester
satu yang lalu, aku menempati ranking ke-2 di kelas.
“Sayang sekali, seharusnya kamu bisa dapat ranking
ke-1...” Begitu reaksi Papa saat kutunjukkan rapor semesterku dengan
bangga. Tak ada bedanya pula dengan Mama. Beliau hanya menyuruhku untuk lebih berusaha.
Mereka sama sekali tidak memberikan pujian dan hal itu membuatku sedikit kesal.
Rasanya, usahaku kurang dihargai. Huft, begitulah susahnya punya orang tua
perfeksionis.
Semester ini, aku bertekad untuk mendapat ranking
ke-1, bagaimanapun caranya.
“Ranking pertama di kelas kita
yaitu...” Pak Ari, wali kelas X-1 membacakan urutan posisi ranking di
kelas kami.
Aku menggigit jari. Semoga aku! “...Myta.
Selamat Myta!” Seluruh penghuni kelas bertepuk tangan, kecuali aku. Myta hanya
tersenyum rendah hati seraya mengucapkan terima kasih dengan ringan. Raut
mukanya memancarkan rasa bangga. Betapa kecewanya aku. Lagi-lagi aku kalah oleh
Myta.
“Ranking kedua ditempati oleh
Celline dengan rata-rata rapor 9,1. Hanya berbeda 0,3 dengan Myta yang
rata-rata rapornya 9,4”, puji Pak Ari. Tepuk tangan kembali terdengar. Aku
hanya diam, menangguk, dan tersenyum pahit.
***
Liburan telah berlalu. Sekarang aku
menduduki bangku kelas 2 SMP. Betapa kagetnya aku saat melihat sosok seorang
cewek yang duduk di bangku belakang kursiku. Myta! Sebenarnya, aku mengeluh
dalam hati karena untuk kesekian kali diriku harus bersaing dengannya untk
merebut ranking ke-1. Aku bosan menjadi yang kedua, tertutup
bayang-bayang Myta di bidang akademis.
Duduk di dekat Myta membuatku lebih mudah
untuk mengorek banyak informasi. Satu hal yang membuatku penasaran, mengapa dia
lebih unggul? Padahal, nilai kami dalam berbagai macam pelajaran hampir sama.
Misalnya, dia mendapat 95, aku mendapat 94 atau sebaliknya. Kami saling
mengimbangi.
Rasa penasaranku terjawab tanpa sengaja
oleh Leoni, teman sebangku Myta.
“Ciee.. Miss writer kita hebat
banget deh. Cerpen kamu dimuat lagi ya? Lumayan tuh buat nambah nilai bahasa
Indonesia elo..” kata Leoni suatu hari. Suara Leoni yang cukup keras membuatku
dapat mendengar percakapan mereka.
Myta tersenyum merendah. “Biasa aja kok.
Tetapi, memang sih itu bisa membantu. Waktu aku kelas 1 dulu, Bu Cicil
menghargai hasil karyaku. Beliau memang menambahkan nilai plus untuk tugas
harian bahasa Indonesia tiap cerpen buatanku dimuat di majalah..” ujar Myta
tanpa berusaha menyobongkan diri.
Aku mengerti sekarang. Memang, aku tidak
terlalu berbakat dalam menulis cerpen atau karya sastra lainnya. Bagiku, hanya
cukup mendapat nilai bagus. Ah, pokoknya aku harus bisa menulis cerpen,
lebih baik daripada Myta, supaya ranking ke-1 semester ini ada di genggamanku, tekadku
dalam hati.
***
Kesempatan itu datang begitu saja dua bulan
kemudian. Pak Rendi, guru bahasa Indonesia kami, memberi lomba menulis cerpen
di kelas kami. Temanya bebas. Yang penting menarik dan ceritanya orisinal.
Pemenangnya akan mendapat nilai plus untuk ulangan harian bahasa Indonesia yang
notabene cukup sulit.
Aku mencari ide berhari-hari. Namun, aku
tidak menemukannya sama sekali.
“Lagi nulis apa, Mit?” tanyaku saat melihat
Myta tengah sibuk menulis sesuatu di buku tulis saat jam istirahat.
“Oh, ini cerpen untuk tugas bahasa
Indonesia. Sudah selesai, Cuma tinggal diketik di komputer. Sayang, komputer
rumahku lagi error. Mungkin nanti siang aku ke warnet.”
“Kenapa nggak nitip ke aku saja? Biar aku
ketikkan di komputer rumahku sekalian nanti kita kirim bareng via e-mail ke
Pak Rendi.” Aku menawarkan diri. Sesungguhnya, aku penasaran, ingin tahu
sebagus apa cerpen buatan Myta.
“Aku nggak enak ngerepotin, Lin.”
Aku menepis ucapan Myta seraya tertawa
riang. Akhirnya, dia setuju, lalu memberikan alamat e-mail beserta password-nya kepadaku.
***
Kagum. Ya, satu kata itulah yang bisa
menggambarkan perasaanku saat membaca cerpen Myta. Tata bahasanya bagus,
temanya menarik, alurnya tidak mudah ditebak, dan begitu..perfect. Aku? Merangkai
satu paragraf saja sudah kesulitan. Aku tidak mungkin unggul daripada Myta
kalau begini caranya.
Tiba-tiba, timbul suatu ide di benakku. Ide
yang membuatku tidak yakin karena merasa telah berbuat curang, tetapi ada
sebuah dorongan kuat untuk melakukannya. Aku mengirim cerpen tersebut ke e-mail
Pak Rendi tanpa mencantumkan nama pengarang, baik cerpen Myta maupun cerpen
karanganku yang baru saja kubuat. Kemudian, aku akan mengakui karya Myta
sebagai milikku.
***
Jam bahasa Indonesia hari itu, Pak Rendi
mengumumkan pemenang lomba menulis cerpen yang diadakannya.
“Pemenangnya adalah cerpen yang berjudul Senyuman
Sang Seja.” Pak Rendi mengumumkan seraya tersenyum bangga.
Riuh ramai seisi kelas terdengar. Mereka
penasaran siapa yang menulis cerpen tersebut karena Pak Rendi mengatakan tidak
ada nama pengarang di cerpen itu. Beliau menyuruh penulisnya untuk datang ke
kantor sepulang sekolah.
Aku tidak berani menatap Myta seharian,
apalagi setelah Pak Rendi berkata demikian. Sempat kulihat keterkejutan dari
mata Myta, tetapi dia memilih tidak berkomentar. Bahkan, dia bersikap biasa
kepadaku. Semua membuatku merasa bersalah.
***
“Myt.. itu cerpenmu...” ujarku sepulang
sekolah ketika tinggal kami berdua di ruang kelas. Aku memang ingin bicara
empat mata dengan Myta.
“Aku yang menulis. Tetapi bukan berarti
punyaku,” Myta tersenyum.
Aku semakin bertambah heran. Hei, kenapa
dia malah tersenyum? Seharusnya, dia marah-marah kan? Aku telah seenaknya
menjiplak karyanya.
“Kamu yang mengirimnya. Jadi, selamat
Celline.. Cerpen kamu sudah menjadi yang terbaik..” Myta menyalami tanganku. Anehnya,
aku tidak menangkap kesinisan dalam tutur kata ataupun perilakunya.
“Myta.. Itu punya kamu. Maafkan aku, Myt.
Aku iri padamu.. Aku selalu jadi ranking ke-2.” Sejurus kemudian, aku
menangis tersedu. Aku menceritakan semuanya kepada Myta dan berkali-kali
meminta maaf. Myta hanya diam, mendengarkanku sambil berkata tidak apa-apa.
“Celline, aku tidak marah kepadamu. Tetapi,
aku cuma mau kamu lebih menghargai hasil karyamu. Sebab, bagaimanapun, hasil
karya kita yang paling berharga.”
Kata-kata Myta seolah membuka mataku. Dia
benar. Aku tidak boleh iri kepada orang lain, karena aku harus mensyukuri apa
yang aku punya. Kerja kerasku..
Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk
mengakui cerpen ini sebagai karya Myta di hadapan Pak Rendi nanti. ***
Pustaka
:
Johari,
Dea Clarissa. 2011. Cerpen Tak Bernama. Jember : Jawa Pos.
0 komentar:
Posting Komentar