Mentari
hari ini seakan bersahabat dalam pelukan ibu pertiwi, berbiaskan angin semilir
lembut di pelupuk mata hitam penuh energik, seakan surgawi menari dalam
pandangan hilir. Bibir ini tak henti berucap kagum dalam untaian dzikir ilahi.
Tak henti-henti aku mencoba menerjemahkan fatamorgana yang abstrak namun lekat
dalam benak langit.
Batinku
menengadah dalam ketakjuban dunia dalam ilusi akalku yang tak dapat aku
terjemahkan. Aku hanya bisa berucapkan satu kata dalam rentetan kata yang
mungkin otakku saat ini hanya memerintahkan lidahku berucap “subhanallah” untuk
sang penciptaku dalam doaku. Alam tiba-tiba bersahut merenggut lamunanku,
“Attiyah...Attiyah az-zahra” sebutnya dalam bayangan yang aku tidak asing untuk
menerjemahkan gerakan semampai yang ia ciptakan. Dia yang terbalut dalam
pakaian syar’i itu melambai-lambai mendekatiku dalam langkah seorang mujahidah.
Dia sahabatku Siska Hairun Nissa’ yang telah lama menorehkan funtasi dalam
manisnya iman.
“Anti
ini dicari kemana-mana ehh... tahunya di sini, ngapain di sini?” Seketika itu
aku berpaling darinya berkatut dengan apa yang telah menyita pikiranku dalam
putaran fatamorgana. “Aku sedang memandang apa yang Tuhan ciptakan dalam
lukisan yang nyata, merasakan kenikmatan apa yang aku lihat yang membuatku
kagum, dan apa yang aku dengar dalam kuasa yang telah ia ciptakan dalam
misteri, menakjubkan hidup dalam penuh penciptaan yang luar biasa,” ujarku.
Seketika itu dia mendekatiku dalam senyum keteduhan bersenandung memuji robbnya,
hati ini berdecak ketika hati ini teriris mengingat lumuran dosa menghantui
bayanganku, betapa terlalu fasik diriku ketika kebenaran menghampiri dalam
acuhku itu.
Butiran
air mata kini menyentuh pipiku, terlalu sesak dada ini mengingat kufur nikmat
yang aku lakukan. Mulut ini mencoba bungkam dalam kesunyian tapi seketika itu
aku menjerit. Dia merangkulku dalam persaudaraan yang hangat. Aku menangis dan
dia pun berucap “Dunia ini hanya persinggahan dan jika dunia ini hanya
persinggahan maka kita perlu bekal untuk melanjutkan perjalanan kita menuju
peraduan kita sejatinya.” Tangisku pun menjadi hiru biruku.
Ketegaran
dan kekuatan kukumpulkan dalam menatap dunia yang telah kejam melemahkanku dan
menundukkanku dalam ketidakberdayaanku menguasainya. “Attiyah biar tenang kita
salat dzuhur dulu yuk?” sambutnya dalam uluran tangan kehangatan. Aku tak henti
kagum dengan sosok wanita yang dihadapanku saat ini yang hanya bisa
menenangkanku dalam kelembutan dan ketaatan kepada robbnya. Bahkan aku iri
dengan dia yang selalu dalam keistiqomahnya dalam menegakkan agama Allah.
Ketika
kudapati masjid yang begitu kokh berdiri tegak memanggil manusia yang haus akan
ketaatan, bergegas beranjak merebutkan zona kenyamanan dalam kecintaan robb
semesta alam. Ketika itu aku melihat keteduhan dalam mata yang teduh penuh kecintaan.
Saat itu aku harus tersadar dalam sentakan dan menjaga kesucian hati dalam
hijab yang berdiri tegak, siap membentengiku ketika penyakit itu akan
meracuniku secara perlahan-lahan.
Siang
itu aku mulai meninggalkan zona kenyamanan, meninggalkan persinggahan yang suci
itu hingga terlihat deretan sepatu yang menumpuk dalam beranda yang sempit. Aku
mencoba mereka-reka sepatu yang aku miliki hingga aku menemukan sepatu yang
kini kusam di makan waktu.
Pandanganku
tiba-tiba terpaku dalam sosok itu, sosok yang penuh keteduhan, penuh kecintaan
kepada robbnya sungguh sosok yang membuat hatiku bergeming hingga aku tersadar
dalam dzikirku. Panah setan telah menembakkan panahnya untuk meracuni hatiku
gumamku. Kini aku tak menghiraukan sosok itu lagi, aku tak mau kecintaan robbku
terenggut olehnya dan akupun berlalu mengacuhkan segalanya.
Pagi
ini aku coba menulis pena dalm kiasan, menyusunnya menjadi sebuah rentetan kata
yang bermakna dan ku goreskan titik demi titik lembar putih hingga ku temukan
bukan kertas putih yang halus tapi telah tertorehkan tinta hitam dalam pena
yang ku ciptakan.
Tertunduk
aku dalam diamku
Membisu
dan merintih dalam kealphaan dunia
Kehampaan
dan kebiusan hati dalam matiku
Berhenti
menjadi kepalsuan hati yang tak berujung
Jiwa
yang berkelana menjadi letih dalam tangisku
Kututup
bukuku yang kusam itu dan bergerak mencoba melangkahkan kakiku di koridor
kampus. Nampak aku melihat sosok yang akhir-akhir ini aku mengenalnya, tubuh yang
tinggi berjalan tegap penuh keteduhan. Sosok yang telah menyita pikiranku
minggu ini. Hingga semakin lekat aku melihat wajah yang berseri penuh dengan
ambisi surgawi hingga mengharuskanku menjaga pandanganku dalam kesucian.
Siska
sahabatkupun mengetahui masalah yang ada padaku dan mencoba berkata kepadaku “Ukhty...
apa si merah jambu itu telah menyerangmu saat ini?” tersentak aku mendengarnya
dan tak sepatah katapun ku ucapkan. “Jika iya... kalau Anti tidak siap untuk
menikah maka tata hati agar Allah tidak merasa cemburu dengan sikap Anti yang
demikian dan perbanyak menyibukkan diri dengan Allah.” “Doakan aku selalu agar
kecintaanku tidak menjadi racun untuk hatiku dan aku tetap istiqomah di
jalannya.”
Pustaka
:
Purnama,
Dewi. 2013. Ketika Hati Harus Aku Tundukkan. Malang : BESTARI.
0 komentar:
Posting Komentar