Kamis, 30 Januari 2014

Ketika Hati Harus Aku Tundukkan


Mentari hari ini seakan bersahabat dalam pelukan ibu pertiwi, berbiaskan angin semilir lembut di pelupuk mata hitam penuh energik, seakan surgawi menari dalam pandangan hilir. Bibir ini tak henti berucap kagum dalam untaian dzikir ilahi. Tak henti-henti aku mencoba menerjemahkan fatamorgana yang abstrak namun lekat dalam benak langit.
Batinku menengadah dalam ketakjuban dunia dalam ilusi akalku yang tak dapat aku terjemahkan. Aku hanya bisa berucapkan satu kata dalam rentetan kata yang mungkin otakku saat ini hanya memerintahkan lidahku berucap “subhanallah” untuk sang penciptaku dalam doaku. Alam tiba-tiba bersahut merenggut lamunanku, “Attiyah...Attiyah az-zahra” sebutnya dalam bayangan yang aku tidak asing untuk menerjemahkan gerakan semampai yang ia ciptakan. Dia yang terbalut dalam pakaian syar’i itu melambai-lambai mendekatiku dalam langkah seorang mujahidah. Dia sahabatku Siska Hairun Nissa’ yang telah lama menorehkan funtasi dalam manisnya iman.
“Anti ini dicari kemana-mana ehh... tahunya di sini, ngapain di sini?” Seketika itu aku berpaling darinya berkatut dengan apa yang telah menyita pikiranku dalam putaran fatamorgana. “Aku sedang memandang apa yang Tuhan ciptakan dalam lukisan yang nyata, merasakan kenikmatan apa yang aku lihat yang membuatku kagum, dan apa yang aku dengar dalam kuasa yang telah ia ciptakan dalam misteri, menakjubkan hidup dalam penuh penciptaan yang luar biasa,” ujarku. Seketika itu dia mendekatiku dalam senyum keteduhan bersenandung memuji robbnya, hati ini berdecak ketika hati ini teriris mengingat lumuran dosa menghantui bayanganku, betapa terlalu fasik diriku ketika kebenaran menghampiri dalam acuhku itu.
Butiran air mata kini menyentuh pipiku, terlalu sesak dada ini mengingat kufur nikmat yang aku lakukan. Mulut ini mencoba bungkam dalam kesunyian tapi seketika itu aku menjerit. Dia merangkulku dalam persaudaraan yang hangat. Aku menangis dan dia pun berucap “Dunia ini hanya persinggahan dan jika dunia ini hanya persinggahan maka kita perlu bekal untuk melanjutkan perjalanan kita menuju peraduan kita sejatinya.” Tangisku pun menjadi hiru biruku.
Ketegaran dan kekuatan kukumpulkan dalam menatap dunia yang telah kejam melemahkanku dan menundukkanku dalam ketidakberdayaanku menguasainya. “Attiyah biar tenang kita salat dzuhur dulu yuk?” sambutnya dalam uluran tangan kehangatan. Aku tak henti kagum dengan sosok wanita yang dihadapanku saat ini yang hanya bisa menenangkanku dalam kelembutan dan ketaatan kepada robbnya. Bahkan aku iri dengan dia yang selalu dalam keistiqomahnya dalam menegakkan agama Allah.
Ketika kudapati masjid yang begitu kokh berdiri tegak memanggil manusia yang haus akan ketaatan, bergegas beranjak merebutkan zona kenyamanan dalam kecintaan robb semesta alam. Ketika itu aku melihat keteduhan dalam mata yang teduh penuh kecintaan. Saat itu aku harus tersadar dalam sentakan dan menjaga kesucian hati dalam hijab yang berdiri tegak, siap membentengiku ketika penyakit itu akan meracuniku secara perlahan-lahan.
Siang itu aku mulai meninggalkan zona kenyamanan, meninggalkan persinggahan yang suci itu hingga terlihat deretan sepatu yang menumpuk dalam beranda yang sempit. Aku mencoba mereka-reka sepatu yang aku miliki hingga aku menemukan sepatu yang kini kusam di makan waktu.
Pandanganku tiba-tiba terpaku dalam sosok itu, sosok yang penuh keteduhan, penuh kecintaan kepada robbnya sungguh sosok yang membuat hatiku bergeming hingga aku tersadar dalam dzikirku. Panah setan telah menembakkan panahnya untuk meracuni hatiku gumamku. Kini aku tak menghiraukan sosok itu lagi, aku tak mau kecintaan robbku terenggut olehnya dan akupun berlalu mengacuhkan segalanya.
Pagi ini aku coba menulis pena dalm kiasan, menyusunnya menjadi sebuah rentetan kata yang bermakna dan ku goreskan titik demi titik lembar putih hingga ku temukan bukan kertas putih yang halus tapi telah tertorehkan tinta hitam dalam pena yang ku ciptakan.
Tertunduk aku dalam diamku
Membisu dan merintih dalam kealphaan dunia
Kehampaan dan kebiusan hati dalam matiku
Berhenti menjadi kepalsuan hati yang tak berujung
Jiwa yang berkelana menjadi letih dalam tangisku
Kututup bukuku yang kusam itu dan bergerak mencoba melangkahkan kakiku di koridor kampus. Nampak aku melihat sosok yang akhir-akhir ini aku mengenalnya, tubuh yang tinggi berjalan tegap penuh keteduhan. Sosok yang telah menyita pikiranku minggu ini. Hingga semakin lekat aku melihat wajah yang berseri penuh dengan ambisi surgawi hingga mengharuskanku menjaga pandanganku dalam kesucian.
Siska sahabatkupun mengetahui masalah yang ada padaku dan mencoba berkata kepadaku “Ukhty... apa si merah jambu itu telah menyerangmu saat ini?” tersentak aku mendengarnya dan tak sepatah katapun ku ucapkan. “Jika iya... kalau Anti tidak siap untuk menikah maka tata hati agar Allah tidak merasa cemburu dengan sikap Anti yang demikian dan perbanyak menyibukkan diri dengan Allah.” “Doakan aku selalu agar kecintaanku tidak menjadi racun untuk hatiku dan aku tetap istiqomah di jalannya.”

Pustaka :
Purnama, Dewi. 2013. Ketika Hati Harus Aku Tundukkan. Malang : BESTARI.

0 komentar:

Posting Komentar

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner