Sabtu, 01 Februari 2014

Ingat... Sahabatmu Sudah Ada yang Punya...!!!


Semua berawal dari sebuah cinta yang rumit, cinta segitiga antara aku, sahabatku dan sesosok laki-laki yang kami berdua saling menyayanginya. Sahabat identik dengan kebersamaan, mengurai tawa dan berbagi duka bersama. Namun, kini kebersamaan itu telah terenggut oleh “CINTA”.
Aku dan sahabatku menyayangi sosok laki-laki yang sama. Begitupun sebaliknya, sosok yang rupawan itu juga menyayangi kami. Sampai suatu hari, aku melihat ada cinta dan kasih sayang yang lebih dari laki-laki itu untuk sahabatku. Aku kecewa. Tapi, itulah keputusan yang telah diambil. Kini “ikatan” itu telah terjalin. Aku hanya tersenyum melihat sahabat dan orang yang aku sayangi bahagia bersama.   
Hari demi hari terus berganti, seiring berjalannya waktu, kebersamaan kami bertiga mulai pudar. Sesekali aku ingin menjauh dari mereka, karena memang aku tak ingin rasa yang dulu pernah ada untuk lelaki itu kembali. Namun aku segera tersadar, sikap ini tak patut untuk aku jalani. Aku tak ingin memperburuk sesuatu hal yang awalnya hal itu baik.
Kebersamaan itu tak lagi sama seperti dulu. Aku sering melakukan aktivitas-aktivitas dengan kesendirianku, tak ada kebersamaan antara aku dan sahabatku. Berangkat untuk menghadiri sebuah acara di masjid, berangkat latihan vokal, berangkat les, itu pun saat ini tak jauh berbeda seperti orang yang membesarkan egonya masing-masing. Aku sering melakukan hal-hal tersebut sendiri. Berbeda dengan sahabatku, dia selalu ditemani dengan laki-laki itu. Hampir semua keadaan berubah.
Persahabatan yang dari dulu selalu diiringi dengan tawa, canda, dan gurauan, kini berubah karena “CINTA”, sekarang hanya Sang Pemilik Cinta yang tahu alur persahabatan ini akan seperti apa.

Jumat, 31 Januari 2014

Kotoran Sapi

Seorang lulusan Sarjana Kimia sedang diwawancara pada sebuah pabrik kimia, dengan wawancara ini akan ditentukan apakah calon tersebut layak jadi karyawan perusahaan tersebut atau tidak.
Penanya : “Saudari pelamar, sebagai seorang sarjana kimia, saya ingin tahu pemikiran Anda tentang suatu hal”
Sarjana kimia : “Hal apa itu? Silakan ditanyakan, saya siap untuk menjawab”
Penanya : “Apa yang Anda lakukan bila dalam perjalanan ternyata di tengah jalan Anda menemui kotoran sapi?”
Sarjana kimia : “Saya berpendapat bahwa kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk dan bila jumlahnya sangat banyak dapat digunakan sebagai biogas dengan ilmu yang saya miliki”
Penanya : (sambil geleng-geleng kepala)“Kalau ada kotoran sapi di tengah jalan kan tinggal minggir aja dan jangan sampai terinjak, gitu aja kok repot”

Enam Ekor Keledai


Pada suatu hari yang cerah pergilah Bang Qori’ membawa enam ekor keledai untuk dijual di pasar. Dinaikinya salah seekor keledainya, lalu berangkat lagi. Tak lama kemudian, iseng-iseng ia menghitung keledainya. Ia merasa heran, sebab keledainya tinggal lima ekor. Maka ia turun untuk mencari keledai yang seekor lagi. Setelah menghitung dengan teliti, ia kembali heran, sebab jumlah keledainya sekarang ternyata genap enam ekor.
Lalu ia naiki lagi seekor. Lima menit kemudian ia menghitung lagi keledainya. Bang Qori’ kebingungan, sebab sekarang keledainya kembali tinggal lima ekor. Waktu itu kebetulan seorang kenalannya lewat dan bertanya mengapa ia kebingungan.
“Aku meninggalkan rumah membawa enam ekor keledai. Kemudian tinggal lima, sesudah itu kembali enam, dan sekarang kuhitung lagi tinggal lima ekor. Lihat, tak percaya, kuhitung : satu, dua, tiga, empat, lima...”
“Bukankah yang seekor lagi kau naiki Bang Qori’?” kata kenalannya, “itulah keledai yang keenam, sedang keledai yang ketujuh adalah kamu.”

LAUT


“Mengapa air laut asin?” Tanya seorang teman bang Qori’.
“Karena air laut senantiasa diam di tempatnya. Tidak mengalir kemana-mana. Nah, agar tidak berbau busuk, maka leluhur kita memberinya garam. Itulah sebabnya air laut asin,” jawab bang Qori’.

Watch the Door


One day, when Nasreddin was still young. His mother would have something to do outside. Before leaving, she said to Nasreddin, “Nasreddin, since you’re at home alone, you’ve to watch the door carefully. Don’t late anyone in. There have been many thieves recently.”
Nasreddin, therefore, sat by the door. An hour later, his uncle came. “Where is your mother?” he asked.
“She is out” Nasreddin answered.
“My family will be here altogether this evening. Go and tell your mother not to be away this evening.”
As his uncle left, Nasreddin started thinking, “Mother told me to watch the door. Uncle asked me to find her and tell her that he would be here with the whole family.”

Having thought over and over, he finally made a decision. He pulled the door up, carried it, and wnt to meet this mother.

Not Finished Yet


Nasreddin felt that he was already old. He thought that he would die soon. So, he asked for someone to make a grave for him. He promised to pay the man a certain amount of money when the work was finished.
During the work, Nasreddin protested many things about the grave. But, at last the man finished the grave making. He asked for the money Nasreddin had promised him.
Nasreddin said, “You can’t ask for the money now.”
“Why? You said that you would be pay me as soon as I finish the grave.” asked the man.
“The grave is not complete yet,” said Nasreddin.
“What else should I do to complete it? I’ve done everything,” said the man angrily.

“It’s not complete yet because the corpse is not there yet,” answered Nasreddin.

Upah Untuk Seminggu


Setiap hari Sabtu, Bang Qori’ pergi ke pasar membeli keperluan rumah tangganya. Barang-barang belanjanya ia masukkan ke dalam sebuah keranjang besar. Karena ia sudah tua, ia tidak kuat membawa keranjang yang cukup berat itu. Maka itu ia menyuruh orang lain membawanya dengan memberikan upah yang layak.
Suatu kali ketika pulang dari belanja, ia berjalan di depan mendahului orang yang membawa keranjangnya. Tanpa ia ketahui, orang yang lari membawa keranjang bang Qori’ ada isinya.
Sabtu berikutnya, ketika ia pergi ke pasar lagi, seorang temannya mengatakannya, “Lihat, hei bang Qori’! Itu orang yang membawa lari keranjangmu.”
Bang Qori’ lalu bersembunyi di samping di sebuah kedai. Ia diam disitu sehingga orang yang membawa keranjangnya dulu keluar dari pasar. Temannya heran dan bertanya, “Apa yang kau lakukan di situ?”
“Oh,” kata bang Qori’, “Orang itu telah seminggu membawa keranjangku yang cukup berat. Aku khawatir menagih upahnya. Bayangkan kalau yang ia tagih adalah upah seminggu selama ia membawakan keranjangku itu, pasti uangku tak cukup membayarnya.” 

Before it’s Late


It was a long dry season. Most well were dry. So, Nasreddin asked his son to take some drinking water from a natural mountain. He handed a jar to his son. After that. he hit his son’s face and said, “Be careful, don’t break the jar!” The boy cried and left.
One of his neighbours knew the event. He felt a pity on the boy. He approached Nasreddin and said, “Nasreddin, your son is a nice boy. Why do you hit him?”
“In order not to break the jar,” Nasreddin answered.
“You’re not wise, Nasreddin. The jar is not broken, but you have hit your son.”
“Yo’re wrong,” Nasreddin answered, “If I hit him after he breaks the jar, as most people do, it would be very late. And it is no use to do somehing late.”

Kamis, 30 Januari 2014

Lelaki Itu


Tidak ada yang tahu pasti siapa lelaki paruh baya itu. Nama, asal-usul, tinggal di mana, dan dari keluarga mana, semuanya abstrak. Orang-orang mengenalnya hanya karena ia sering berjalan atau mungkin sekadar numpang lewat di depan deretan toko-toko, di Pasar Bauntung Kota Banjarbaru.
Setiap melewati deretan toko-toko dan lapak-lapak pedagang, lelaki itu selalu tampil rapi dan memasang wajah dingin. Ia tak pernah menyapa siapa pun, termasuk aku. Mungkin sifatnya memang begitu, tidak ingin bertegur sapa dengan orang yang tidak dikenalnya. Lelaki itu lewat dengan cara berjalannya yang khas. Setiap melangkahkan kaki kirinya, selalu dihentakkan keras-keras. Sementara untuk langkah kaki kanannya diseret sehingga menimbulkan bunyi gesekan.
“Gdebukk... Sreettt... Gdebukkk... Srettt...,” begitu kira-kira bunyinya. Aku tidak tahu apakah langkah itu dibuat-buat atau memang ada kelainan pada kakinya yang membuatnya lebih terlihat seperti orang pincang.
Ia lewat setiap hari dengan pakaian rapi seperti orang yang akan berangkat bekerja. Termasuk hari Minngu! Pertanyaan demi pertanyaan menyemai rasa ingin tahuku. Sebenarnya lelaki itu bekerja dimana? Apa dia juga pedagang seperti kebanyakan orang di sini? Tapi mengapa penampilannya lebih mirip seorang pegawai kantoran? Kalaui iya, kantor mana yang mempekerjakan pegawainya tanpa memberi hari libur?
Awalnya kira hanya aku, tapi ternyata banyak juga orang yang dibuat penasaran olehnya. Padahal kalau dipikir-pikir ia tidak lebih dari seorang leki-laki biasa pada umumnya. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja ia punya aura yang dapat merenda perasaan orang-orang tentang dirinya. Semakin hari semakin banyak saja orang yang membicarakannya. Mulai dari pembicaraan penampilannya, sikapnya dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang penting menurutku. Apa salahnya dia bergaya seperti itu. Mengatur penampilan diri itu memang hak setiap pribadi. Mengapa hal sepele itu banyak sekali diperdebatkan orang?
Semakin lama, semakin banyak orang yang menjadikan lelaki itu sebagai buah bibir. Tiap kali lelaki itu berjalan melewati toko-toko dan lapak-lapak, hampir semua mata tertuju padanya. Banyak orang yang penasaran akan siapa sebenarnya lelaki itu. Pernah beberapa orang yang penasaran pada lelaki itu mencoba membuntuti kemana ia pergi atau kemana ia pulang. Anehnya, tiap kali dibuntuti itu pula lelaki itu seperti menghilang tak tahu rimbanya.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Lelaki itu sungguh keterlaluan. Punya kekuatan apa dia sehingga kita dibuat penasaran akan dirinya!” ucap Haji Syukur, seorang pedagang daging.
“Iya betul. Rasa-rasanya otak kita seperti dicuci lalu dibilasnya dengan rasa penasaran,” Mahdah menambahi seraya tangannya sibuk menata sisa jagung dagangannya.
Haji Syukur nampak mengerutkan keningnya. Begitu pula pedagang-pedagang lain yang waktu itu ikut berkumpul setelah lelah seharian berjualan. Hingga timbul usulan agar para pedagang berkerja sama untuk beramai-ramai menangkap lelaki itu besok.
Benar saja, keesokan harinya seperti biasa lelaki itu muncul. Para pedagang mulai bersiap. Sebagian bahkan sudah berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk mendekati lelaki itu. Mereka bergegas mengepung dan rela membiarkan pelanggannya terdiam tanpa dilayani.
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Mungkin ia tahu bahwa kali ini ia tidak akan bisa lari lagi. Ia benar-benar sudah dikepung. Nyaris tak ada celah baginya untuk kabur. Kulihat ekspresi wajahnya tidak berubah. Tetap dingin dan kosong seperti biasanya.
Seorang dari pedagang dengan cepat menggerakkan tangannya untuk mencengkeram lengan lelaki itu. Namun ternyata lelaki itu tak kalah cepat mengelak. Tubuhnya yang kurus menghindar dan langsung berlari ke arahku, lalu menerobos pertahanan kepungan kami. Aku roboh seketika. Tak kusangka kekuatan lelaki itu boleh juga.
“Kejar!” pekik Haji Syukur geram.
Kami pun dengan segera mengejar ke arah lelaki itu kabur. Herannya, lelaki itu kembali menghilang tanpa jejak. Hilang. Ia benar-benar hilang dalam sekejap mata. Ia seperti bersenyawa dengan udara. Aku dan orang-orang penasaran ini hanya bisa menghela napas panjang seraya mengelus dada.
Sejak saat itu, berbagai macam spekulasi mengenai siapa lelaki itu makin menjadi-jadi. Ada yang menganggapnya hantu, manusia jadi-jadian, bahkan ada yang menganggap lelaki itu sebagai perwujudan malaikat.
Itu saat terakhir aku dan orang-orang pasar melihat lelaki itu. Ia tidak pernah muncul lagi sebulan belakangan ini. Entah karena ia takut dikepung dan diketahui identitasnya atau apa. Aku tidak tahu, yang pasti semenjak lelaki itu tidak pernah muncul, rasa penasaran itu perlahan ikut hilang. Kebanyakan dari kami sudah tidak lagi memedulikannya.
Sebelum subuh aku sudah siap mengawali hari dengan membuka lapakku. Ketika itu pasar masih terbilang sepi. Anehnya baru kali ini tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Kurasakan aroma dingin mengusap-usap leher dan telingaku.
“Gdebukk... Sreett... Gdebuk... Srettt..., suara itu!”

Pustaka :
Maulida, Evira Nida. 2013. Lelaki Itu. Malang : BESTARI.

Ketika Hati Harus Aku Tundukkan


Mentari hari ini seakan bersahabat dalam pelukan ibu pertiwi, berbiaskan angin semilir lembut di pelupuk mata hitam penuh energik, seakan surgawi menari dalam pandangan hilir. Bibir ini tak henti berucap kagum dalam untaian dzikir ilahi. Tak henti-henti aku mencoba menerjemahkan fatamorgana yang abstrak namun lekat dalam benak langit.
Batinku menengadah dalam ketakjuban dunia dalam ilusi akalku yang tak dapat aku terjemahkan. Aku hanya bisa berucapkan satu kata dalam rentetan kata yang mungkin otakku saat ini hanya memerintahkan lidahku berucap “subhanallah” untuk sang penciptaku dalam doaku. Alam tiba-tiba bersahut merenggut lamunanku, “Attiyah...Attiyah az-zahra” sebutnya dalam bayangan yang aku tidak asing untuk menerjemahkan gerakan semampai yang ia ciptakan. Dia yang terbalut dalam pakaian syar’i itu melambai-lambai mendekatiku dalam langkah seorang mujahidah. Dia sahabatku Siska Hairun Nissa’ yang telah lama menorehkan funtasi dalam manisnya iman.
“Anti ini dicari kemana-mana ehh... tahunya di sini, ngapain di sini?” Seketika itu aku berpaling darinya berkatut dengan apa yang telah menyita pikiranku dalam putaran fatamorgana. “Aku sedang memandang apa yang Tuhan ciptakan dalam lukisan yang nyata, merasakan kenikmatan apa yang aku lihat yang membuatku kagum, dan apa yang aku dengar dalam kuasa yang telah ia ciptakan dalam misteri, menakjubkan hidup dalam penuh penciptaan yang luar biasa,” ujarku. Seketika itu dia mendekatiku dalam senyum keteduhan bersenandung memuji robbnya, hati ini berdecak ketika hati ini teriris mengingat lumuran dosa menghantui bayanganku, betapa terlalu fasik diriku ketika kebenaran menghampiri dalam acuhku itu.
Butiran air mata kini menyentuh pipiku, terlalu sesak dada ini mengingat kufur nikmat yang aku lakukan. Mulut ini mencoba bungkam dalam kesunyian tapi seketika itu aku menjerit. Dia merangkulku dalam persaudaraan yang hangat. Aku menangis dan dia pun berucap “Dunia ini hanya persinggahan dan jika dunia ini hanya persinggahan maka kita perlu bekal untuk melanjutkan perjalanan kita menuju peraduan kita sejatinya.” Tangisku pun menjadi hiru biruku.
Ketegaran dan kekuatan kukumpulkan dalam menatap dunia yang telah kejam melemahkanku dan menundukkanku dalam ketidakberdayaanku menguasainya. “Attiyah biar tenang kita salat dzuhur dulu yuk?” sambutnya dalam uluran tangan kehangatan. Aku tak henti kagum dengan sosok wanita yang dihadapanku saat ini yang hanya bisa menenangkanku dalam kelembutan dan ketaatan kepada robbnya. Bahkan aku iri dengan dia yang selalu dalam keistiqomahnya dalam menegakkan agama Allah.
Ketika kudapati masjid yang begitu kokh berdiri tegak memanggil manusia yang haus akan ketaatan, bergegas beranjak merebutkan zona kenyamanan dalam kecintaan robb semesta alam. Ketika itu aku melihat keteduhan dalam mata yang teduh penuh kecintaan. Saat itu aku harus tersadar dalam sentakan dan menjaga kesucian hati dalam hijab yang berdiri tegak, siap membentengiku ketika penyakit itu akan meracuniku secara perlahan-lahan.
Siang itu aku mulai meninggalkan zona kenyamanan, meninggalkan persinggahan yang suci itu hingga terlihat deretan sepatu yang menumpuk dalam beranda yang sempit. Aku mencoba mereka-reka sepatu yang aku miliki hingga aku menemukan sepatu yang kini kusam di makan waktu.
Pandanganku tiba-tiba terpaku dalam sosok itu, sosok yang penuh keteduhan, penuh kecintaan kepada robbnya sungguh sosok yang membuat hatiku bergeming hingga aku tersadar dalam dzikirku. Panah setan telah menembakkan panahnya untuk meracuni hatiku gumamku. Kini aku tak menghiraukan sosok itu lagi, aku tak mau kecintaan robbku terenggut olehnya dan akupun berlalu mengacuhkan segalanya.
Pagi ini aku coba menulis pena dalm kiasan, menyusunnya menjadi sebuah rentetan kata yang bermakna dan ku goreskan titik demi titik lembar putih hingga ku temukan bukan kertas putih yang halus tapi telah tertorehkan tinta hitam dalam pena yang ku ciptakan.
Tertunduk aku dalam diamku
Membisu dan merintih dalam kealphaan dunia
Kehampaan dan kebiusan hati dalam matiku
Berhenti menjadi kepalsuan hati yang tak berujung
Jiwa yang berkelana menjadi letih dalam tangisku
Kututup bukuku yang kusam itu dan bergerak mencoba melangkahkan kakiku di koridor kampus. Nampak aku melihat sosok yang akhir-akhir ini aku mengenalnya, tubuh yang tinggi berjalan tegap penuh keteduhan. Sosok yang telah menyita pikiranku minggu ini. Hingga semakin lekat aku melihat wajah yang berseri penuh dengan ambisi surgawi hingga mengharuskanku menjaga pandanganku dalam kesucian.
Siska sahabatkupun mengetahui masalah yang ada padaku dan mencoba berkata kepadaku “Ukhty... apa si merah jambu itu telah menyerangmu saat ini?” tersentak aku mendengarnya dan tak sepatah katapun ku ucapkan. “Jika iya... kalau Anti tidak siap untuk menikah maka tata hati agar Allah tidak merasa cemburu dengan sikap Anti yang demikian dan perbanyak menyibukkan diri dengan Allah.” “Doakan aku selalu agar kecintaanku tidak menjadi racun untuk hatiku dan aku tetap istiqomah di jalannya.”

Pustaka :
Purnama, Dewi. 2013. Ketika Hati Harus Aku Tundukkan. Malang : BESTARI.

Cerpen Tak Bernama

Hari pembagian rapor adalah saat paling menegangkan bagiku. Aku bukan khawatir tidak naik kelas atau mendapat nilai jelek. Dari nilai-nilai ulangan harian yang dibagikan, aku yakin pasti naik kelas. Aku Cuma takut akan satu hal : posisi ranking kelas. Semester satu yang lalu, aku menempati ranking ke-2 di kelas.
“Sayang sekali, seharusnya kamu bisa dapat ranking ke-1...” Begitu reaksi Papa saat kutunjukkan rapor semesterku dengan bangga. Tak ada bedanya pula dengan Mama. Beliau hanya menyuruhku untuk lebih berusaha. Mereka sama sekali tidak memberikan pujian dan hal itu membuatku sedikit kesal. Rasanya, usahaku kurang dihargai. Huft, begitulah susahnya punya orang tua perfeksionis.
Semester ini, aku bertekad untuk mendapat ranking ke-1, bagaimanapun caranya.
Ranking pertama di kelas kita yaitu...” Pak Ari, wali kelas X-1 membacakan urutan posisi ranking di kelas kami.
Aku menggigit jari. Semoga aku! “...Myta. Selamat Myta!” Seluruh penghuni kelas bertepuk tangan, kecuali aku. Myta hanya tersenyum rendah hati seraya mengucapkan terima kasih dengan ringan. Raut mukanya memancarkan rasa bangga. Betapa kecewanya aku. Lagi-lagi aku kalah oleh Myta.
Ranking kedua ditempati oleh Celline dengan rata-rata rapor 9,1. Hanya berbeda 0,3 dengan Myta yang rata-rata rapornya 9,4”, puji Pak Ari. Tepuk tangan kembali terdengar. Aku hanya diam, menangguk, dan tersenyum pahit.
***
Liburan telah berlalu. Sekarang aku menduduki bangku kelas 2 SMP. Betapa kagetnya aku saat melihat sosok seorang cewek yang duduk di bangku belakang kursiku. Myta! Sebenarnya, aku mengeluh dalam hati karena untuk kesekian kali diriku harus bersaing dengannya untk merebut ranking ke-1. Aku bosan menjadi yang kedua, tertutup bayang-bayang Myta di bidang akademis.
Duduk di dekat Myta membuatku lebih mudah untuk mengorek banyak informasi. Satu hal yang membuatku penasaran, mengapa dia lebih unggul? Padahal, nilai kami dalam berbagai macam pelajaran hampir sama. Misalnya, dia mendapat 95, aku mendapat 94 atau sebaliknya. Kami saling mengimbangi.
Rasa penasaranku terjawab tanpa sengaja oleh Leoni, teman sebangku Myta.
“Ciee.. Miss writer kita hebat banget deh. Cerpen kamu dimuat lagi ya? Lumayan tuh buat nambah nilai bahasa Indonesia elo..” kata Leoni suatu hari. Suara Leoni yang cukup keras membuatku dapat mendengar percakapan mereka.
Myta tersenyum merendah. “Biasa aja kok. Tetapi, memang sih itu bisa membantu. Waktu aku kelas 1 dulu, Bu Cicil menghargai hasil karyaku. Beliau memang menambahkan nilai plus untuk tugas harian bahasa Indonesia tiap cerpen buatanku dimuat di majalah..” ujar Myta tanpa berusaha menyobongkan diri.
Aku mengerti sekarang. Memang, aku tidak terlalu berbakat dalam menulis cerpen atau karya sastra lainnya. Bagiku, hanya cukup mendapat nilai bagus. Ah, pokoknya aku harus bisa menulis cerpen, lebih baik daripada Myta, supaya ranking ke-1 semester ini ada di genggamanku, tekadku dalam hati.
***
Kesempatan itu datang begitu saja dua bulan kemudian. Pak Rendi, guru bahasa Indonesia kami, memberi lomba menulis cerpen di kelas kami. Temanya bebas. Yang penting menarik dan ceritanya orisinal. Pemenangnya akan mendapat nilai plus untuk ulangan harian bahasa Indonesia yang notabene cukup sulit.
Aku mencari ide berhari-hari. Namun, aku tidak menemukannya sama sekali.
“Lagi nulis apa, Mit?” tanyaku saat melihat Myta tengah sibuk menulis sesuatu di buku tulis saat jam istirahat.
“Oh, ini cerpen untuk tugas bahasa Indonesia. Sudah selesai, Cuma tinggal diketik di komputer. Sayang, komputer rumahku lagi error. Mungkin nanti siang aku ke warnet.”
“Kenapa nggak nitip ke aku saja? Biar aku ketikkan di komputer rumahku sekalian nanti kita kirim bareng via e-mail ke Pak Rendi.” Aku menawarkan diri. Sesungguhnya, aku penasaran, ingin tahu sebagus apa cerpen buatan Myta.
“Aku nggak enak ngerepotin, Lin.”
Aku menepis ucapan Myta seraya tertawa riang. Akhirnya, dia setuju, lalu memberikan alamat e-mail  beserta password-nya kepadaku.
***
Kagum. Ya, satu kata itulah yang bisa menggambarkan perasaanku saat membaca cerpen Myta. Tata bahasanya bagus, temanya menarik, alurnya tidak mudah ditebak, dan begitu..perfect. Aku? Merangkai satu paragraf saja sudah kesulitan. Aku tidak mungkin unggul daripada Myta kalau begini caranya.
Tiba-tiba, timbul suatu ide di benakku. Ide yang membuatku tidak yakin karena merasa telah berbuat curang, tetapi ada sebuah dorongan kuat untuk melakukannya. Aku mengirim cerpen tersebut ke e-mail Pak Rendi tanpa mencantumkan nama pengarang, baik cerpen Myta maupun cerpen karanganku yang baru saja kubuat. Kemudian, aku akan mengakui karya Myta sebagai milikku.
***
Jam bahasa Indonesia hari itu, Pak Rendi mengumumkan pemenang lomba menulis cerpen yang diadakannya.
“Pemenangnya adalah cerpen yang berjudul Senyuman Sang Seja.” Pak Rendi mengumumkan seraya tersenyum bangga.
Riuh ramai seisi kelas terdengar. Mereka penasaran siapa yang menulis cerpen tersebut karena Pak Rendi mengatakan tidak ada nama pengarang di cerpen itu. Beliau menyuruh penulisnya untuk datang ke kantor sepulang sekolah.
Aku tidak berani menatap Myta seharian, apalagi setelah Pak Rendi berkata demikian. Sempat kulihat keterkejutan dari mata Myta, tetapi dia memilih tidak berkomentar. Bahkan, dia bersikap biasa kepadaku. Semua membuatku merasa bersalah.
***
“Myt.. itu cerpenmu...” ujarku sepulang sekolah ketika tinggal kami berdua di ruang kelas. Aku memang ingin bicara empat mata dengan Myta.
“Aku yang menulis. Tetapi bukan berarti punyaku,” Myta tersenyum.
Aku semakin bertambah heran. Hei, kenapa dia malah tersenyum? Seharusnya, dia marah-marah kan? Aku telah seenaknya menjiplak karyanya.
“Kamu yang mengirimnya. Jadi, selamat Celline.. Cerpen kamu sudah menjadi yang terbaik..” Myta menyalami tanganku. Anehnya, aku tidak menangkap kesinisan dalam tutur kata ataupun perilakunya.
“Myta.. Itu punya kamu. Maafkan aku, Myt. Aku iri padamu.. Aku selalu jadi ranking ke-2.” Sejurus kemudian, aku menangis tersedu. Aku menceritakan semuanya kepada Myta dan berkali-kali meminta maaf. Myta hanya diam, mendengarkanku sambil berkata tidak apa-apa.
“Celline, aku tidak marah kepadamu. Tetapi, aku cuma mau kamu lebih menghargai hasil karyamu. Sebab, bagaimanapun, hasil karya kita yang paling berharga.”
Kata-kata Myta seolah membuka mataku. Dia benar. Aku tidak boleh iri kepada orang lain, karena aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Kerja kerasku..
Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mengakui cerpen ini sebagai karya Myta di hadapan Pak Rendi nanti. ***

Pustaka :
Johari, Dea Clarissa. 2011. Cerpen Tak Bernama. Jember : Jawa Pos.

Selasa, 28 Januari 2014

Pelukan Angin dalam Angan

Matahari terang, tapi awan gelap mengikat kuat mendung yang bergelayut pilu menawarkan sembab di wajah langit. Angin bertiup dingin menembus baju gamis tebal yang aku kenakan. Duduk di sofa yang empuk untuk menunggu kehadiran sosok papa dari balik pintu pagar. Mata ini perlahan menutup, sedikit demi sedikit dan membuat aku benar-benar tertidur.
Hai, sapaan yang sudah beribu kali kulatih dan kubayangkan. Pertemuan seperti apa, tatapan seperti apa dan pelukan seperti apa yang akan kita temukan pada akhirnya kita ditemukan.
“Selamat pagi,” sapanya. “Seperti apa kehidupan anak Mama sekarang?”
“Vea punya banyak teman, bukit pasir juga matahari dan angin yang tetap setia bersama Vea, serta kenangan. Vea tidak mau memaksakan kenangan itu pergi, karena mereka lebih nyata dari kenyataan yang Vea hadapi sendiri. Vea ingin mereka menghilang, tanpa harus Vea paksakan. Perlahan mereka akan terbang, meninggalkan hari ini dan menjadi bagian kemarin yang ‘berhasil’ Vea lewati bersama mama, serta sahabat-sahabat yang sesekali ingin mendengarkan Vea bercerita. Kadang-kadang di sini hawanya panas sekali Ma, tapi masih bisa Vea tahan. Seperti apa hidup Mama di atas sana?”
“Disini juga ada matahari dan angin, tetapi yang menyenangkan adalah mama bisa bepergian di langit dan melihat lebih banyak. Mama berharap suatu hari kita akan duduk seperti apa yang mama lakukan sekarang, berada di tepian jembatan yang membelah sungai panjang di bawahnya”
“Mama pernah gak ya inget Vea saat Mama sedang mendapatkan kebahagiaan? Ma, ada banyak hal yang ingin Vea ceritain ke mama, mulai dari apa yang terjadi di sekolah hingga bagaimana sepinya di rumah, saat mama tidak ada”
“Manis, kita akan mengantar mimpi-mimpi kita pada tempatnya yang baru, jadi kamu harus menunggu dahulu”, sebelum mama memalingkan muka, aku melihat senyum yang tulus dari bibir mama, hangat.
***
Senyum, adalah hal yang entah sudah berapa ribu kali kulatih dan kubayangkan. Raut seperti apa, tarikan garis seperti apa, jajaran gigi seperti apa yang akan kutemukan, atau akankah kau memiliki lesung di pipi yang mirip bintang ketika pada akhirnya kita saling menemukan. Walaupun, ternyata pada akhirnya kita tidak pernah sempat dipertemukan.
Aku terbangun dari tidur siangku. Mimpi, lagi lagi aku bermimpi pada siang bolong. Halusinasi yang bila aku ceritakan pada Papa yang aku merasa sedikitpun Papa tak akan percaya. Papa bilang aku terlalu rindu pada mama atau mungkin itu mama yang terlalu rindu padaku. “Tak ada seseorang yang bermimpi pada siang hari sayang”, hanya tersenyum menghibur, karena hanya sedikit yang Papa tahu tentang mimpiku, Papa terlalu sibuk.
Dimana Mama? Beliau sudah ada di tempat terbaik dari tempat mana pun yang bisa diberikan Allah kepadanya. Di sana tak ada kesakitan yang 8 tahun ini memeluknya erat. Aku tahu dia bahagia. Wajahnya cantik saat terakhir kali saya mencium kening, pipi dan dagunya.
Ma, sebentar lagi usia Vea bertambah, boleh Vea mengharapkan lagi kejutan-kejutan yang selalu mama berikan pada Vea?, atau mungkin Vea harus melakukannya sendiri karena tak ada waktu dari ayah. Berangkat ketika Vea sarapan dan pulang ketika Vea sudah tertidur pulas. Ma, Vea kuatkan, Ma? Tolong tetap genggam tangan Vea, jangan lepaskan sebelum Vea benar-benar mau dan siap menghadapi kebahagiaan saja.
***
Tepat pukul 12 malam ada yang mengetuk pintu kamarku. Kuberanikan diri untuk membukanya dan melihat siapa yang berada di baliknya. Wuuuss.. Angin berhembus tenang dan dingin, mungkin bibi lupa menutup jendela di sebelah lemari kaca, atau apa ini? Aku mencium bau yang tak asing lagi, parfum mama. Aku takut, tapi mama bilang aku tak boleh takut dengan semua kegelapan ini, mama sudah membiasakanku dengan kegelapan-kegelapan yang mama ciptakan, seperti mematikan lampu kamarku ketika hendak kembali ke kamar beliau. Aku berjalan pelan-pelan sambil melihat kanan kiri. Tak ada siapa-siapa.
Duk..aku menendang sesuatu, sebuah kotak yang di dalamnya terdapat sebatang lilin beserta korek apinya, note book yang biasa mama tuliskan lagu-lagu yang aku suka dan sepucuk surat, “Halo sayang, mama tau anak mama itu pemberani. Mama punya permainan buat kamu, kamu tau kan harus kemana setelah melihat apa yang mama berikan? Pergilah ke tempat itu dan mama punya pesan untukmu, jangan nyalakan lampu, mama tahu kamu hebat. Cukup gunakan apa yang mama berikan, Cantik”.
Deg..Mama? Apa yang akan mama berikan? Apa ini yang beliau rencanakan sebelum pergi meninggalkanku. Aku tak tahu, tapi aku masih ingin mengikuti permainan “mama”.
Aku melangkah terus dengan sebatang lilin di tangan, menuju ke ruang tengah yang ada pianonya. Piano yang selalu ku gunakan dengan mama. Menyanyikan lagu-lagu yang kusuka diiringi oleh mama. Sebenarnya mama sudah sangat sabar mengajariku memainkan alat musik tersebut, tapi dulu aku masih ingin mama yang memainkannya untukku.
Aku mulai melihat piano mama, lalu melihat ada sesuatu di atas piano tersebut. Mug berwarna merah dengan tulisan “Ini Punya Vea” di sebelah gagangnya. Bibi selalu membuatkan susu di gelas ini. Memberikanku pada saat sarapan dan sebelum tidur, dan di sebelahnya ada petunjuk dari “mama”. “Selamat datang di tempat pertamamu sayang, tak ada apapun kan di perjalananmu ke sini? Ayo manis, kamu sudah tau kan harus kemana?”. Dapur, tiba-tiba aku memikirkan tempat selanjutnya adalah dapur. Pikiranku menuju dimana bibi membuatkan susu untukku, tapi bukankah dapur terlalu jauh dari ruang tengah ini. Aku harus melewati ruang tengah, melewati kamar papa, kemudian melewati kamar bibi barulah aku sampai di dapur .ini terlalu jauh ma, Vea takut. Wuss.. Kembali ada angin yang berhembus dan kembali aku mencium parfum mama, sangat khas.
Entah mengapa setelah kejadian itu aku seperti mendapatkan semangat untuk melanjutkan “permainan” ini. Tak terasa aku sudah melewati ruang tengah, kamar papa dan kamar bibi. Aku melihat ada yang aneh di atas lemari es. Aku menuju ke arah lemari es dan mengambil sesuatu di atasnya. Dasi dan peralatan kantor papa. “Papa tidak disiplin ya sayang, menaruh barang penting di sembarang tempat”.
Munghkin papa terlalu capek sehabis kerja kemudian meletakkan dasi dan peralatannya di atas lemari es lalu menuju kamar untuk istirahat. Ah aku harus ke ruang kerja papa yang berada di lantai dua. Papa, Papa mengganggu permainan Vea dengan “mama”. Vea harus ke atas dan mengembalikan peralatan Papa pada tempatnya. Aku bereskan semua peralatan papa lalu meuju ke ruang kerja beliau.
Setibanya di ruang kerja papa, kutaruh semua alatnya di atas meja kerjanya dan membaca surat dari “mama”, ada pohon kaktus di sana, tumbuh subur pada pot mungil yang papa belikan untukku saat bisa menaiki sepeda tanpa bantuan. Aku dan mama suka menanam tanaman, mama lebih suka menanam bunga-bunganya pada tanah kosong di belakang rumah, sekarang sedang musimnya bunga-bunga yang mama tanam mengeluarkan kuncup, sedang aku lebih suka menanam katus mungil di dalam pot bunga. Mama juga suka menanam menanam bunga-bunganya dalam pot, tapi bunga-bunga yang sedikit memerlukan cahaya, dan mama meletakkan bunga-bunga dalam pot itu di sebuah gudang kecil di belakang rumah. “Kamu hampir menyelesaikan semuanya sayang!”
Gudang tempat mama meletakkan bunganya. Aku harus ke sana. Wuss..kembali kucium parfum mama, dan baru kali ini aku merinding karena mencium bau mama. Ma, apa mama melihat kerja kerasku?
Aku menuju gudang dengan opini-opini yang ada di kepalaku. Berbagai kemungkinan aneh di luar batas pemikiran manusia. Aku sudah berada di depan pintu gudang. Kutatap setiap sudut dari pintu itu.
“Ma, sudah lama Vea gak ke sini, maafkan Vea tidak menjaga milik mama dengan baik ya Ma”
Kubuka pintu gudang pelan-pelan dan tiba-tiba lampu gudang menyala. Ada papa di sana. Tertidur dengan kepala di atas meja luas, meja yang terdapat kua tart cantik dan beberapa kotak hadiah. Kulihat muka papa, beliau terlihat begitu lelah. Kemudian kulihat setiap sudut gudang ini. Papa sudah berusaha keras menghias gudang ini menjadi indah. Papa melakukannya ini untukku. Papa terbangun, kemudian menatapku bingung.
“Maaf, maafkan Papa. Papa sampai ketiduran di sini, jam berapa ini? Papa tadi sudah mau membangunkanmu. Tapi Papa malah tertidur di sini. Maaf, maafkan papa sayang. Selamat ulang tahun yang ke-15 anak perempuan papa. Maaf papa selalu tidak ada waktu buat Vea akhir-akhir ini”
Papa memeluk aku dengan eratnya, seperti tidak ingin melepaskan putri kecilnya ini. Sepertinya papa benar-benar merindukanku. Aku yang berubah menjadi pembangkang setelah ditinggal mama, tidak bisa menerima Papa yang masih “asik” dengan pekerjaannya.
“Oh ya sayang? Apa kamu suka kejutan ini? hmm bukan kejutan lagi ya? Papa sudah berusaha membuat semirip kebiasaan mama, tapi seperinya papa gagal melakukannya, papa tertidur setelah mengerjakan semuanya bahkan lupa membangunkanmu, hahaha, dan sekarang kamu malah sudah berdiri disini, jadinya kamu gak kaget dong ya. yah sayang banget ya”
Aku ikut tertawa bersama papa, lalu memeluk papa balik, memeluk dengan perasaan campur aduk. Tunggu dulu, kalau papa lupa untuk membangunkanku, lalu siapa yang mengetuk pintu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ke sini? Wuss..Angin berhembus kembali, dan parfum mama tercium sangat kuat. Aku merasakan ada angin yang memelukku dari belakang, anginnya dingin tapi terasa begitu hangat.
Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Ma.

Pustaka :
Febrin, Reva Aulia. 2013. Pelukan Angin dalam Angan. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner