Matahari terang, tapi awan gelap mengikat
kuat mendung yang bergelayut pilu menawarkan sembab di wajah langit. Angin
bertiup dingin menembus baju gamis tebal yang aku kenakan. Duduk di sofa yang
empuk untuk menunggu kehadiran sosok papa dari balik pintu pagar. Mata ini
perlahan menutup, sedikit demi sedikit dan membuat aku benar-benar tertidur.
Hai, sapaan yang sudah beribu kali kulatih
dan kubayangkan. Pertemuan seperti apa, tatapan seperti apa dan pelukan seperti
apa yang akan kita temukan pada akhirnya kita ditemukan.
“Selamat pagi,” sapanya. “Seperti apa
kehidupan anak Mama sekarang?”
“Vea punya banyak teman, bukit pasir juga
matahari dan angin yang tetap setia bersama Vea, serta kenangan. Vea tidak mau
memaksakan kenangan itu pergi, karena mereka lebih nyata dari kenyataan yang
Vea hadapi sendiri. Vea ingin mereka menghilang, tanpa harus Vea paksakan.
Perlahan mereka akan terbang, meninggalkan hari ini dan menjadi bagian kemarin
yang ‘berhasil’ Vea lewati bersama mama, serta sahabat-sahabat yang sesekali
ingin mendengarkan Vea bercerita. Kadang-kadang di sini hawanya panas sekali
Ma, tapi masih bisa Vea tahan. Seperti apa hidup Mama di atas sana?”
“Disini juga ada matahari dan angin, tetapi
yang menyenangkan adalah mama bisa bepergian di langit dan melihat lebih
banyak. Mama berharap suatu hari kita akan duduk seperti apa yang mama lakukan
sekarang, berada di tepian jembatan yang membelah sungai panjang di bawahnya”
“Mama pernah gak ya inget Vea saat Mama
sedang mendapatkan kebahagiaan? Ma, ada banyak hal yang ingin Vea ceritain ke
mama, mulai dari apa yang terjadi di sekolah hingga bagaimana sepinya di rumah,
saat mama tidak ada”
“Manis, kita akan mengantar mimpi-mimpi
kita pada tempatnya yang baru, jadi kamu harus menunggu dahulu”, sebelum mama
memalingkan muka, aku melihat senyum yang tulus dari bibir mama, hangat.
***
Senyum, adalah hal yang entah sudah berapa
ribu kali kulatih dan kubayangkan. Raut seperti apa, tarikan garis seperti apa,
jajaran gigi seperti apa yang akan kutemukan, atau akankah kau memiliki lesung
di pipi yang mirip bintang ketika pada akhirnya kita saling menemukan.
Walaupun, ternyata pada akhirnya kita tidak pernah sempat dipertemukan.
Aku terbangun dari tidur siangku. Mimpi,
lagi lagi aku bermimpi pada siang bolong. Halusinasi yang bila aku ceritakan
pada Papa yang aku merasa sedikitpun Papa tak akan percaya. Papa bilang aku
terlalu rindu pada mama atau mungkin itu mama yang terlalu rindu padaku. “Tak
ada seseorang yang bermimpi pada siang hari sayang”, hanya tersenyum menghibur,
karena hanya sedikit yang Papa tahu tentang mimpiku, Papa terlalu sibuk.
Dimana Mama? Beliau sudah ada di tempat
terbaik dari tempat mana pun yang bisa diberikan Allah kepadanya. Di sana tak
ada kesakitan yang 8 tahun ini memeluknya erat. Aku tahu dia bahagia. Wajahnya
cantik saat terakhir kali saya mencium kening, pipi dan dagunya.
Ma, sebentar lagi usia Vea bertambah, boleh
Vea mengharapkan lagi kejutan-kejutan yang selalu mama berikan pada Vea?, atau
mungkin Vea harus melakukannya sendiri karena tak ada waktu dari ayah.
Berangkat ketika Vea sarapan dan pulang ketika Vea sudah tertidur pulas. Ma,
Vea kuatkan, Ma? Tolong tetap genggam tangan Vea, jangan lepaskan sebelum Vea
benar-benar mau dan siap menghadapi kebahagiaan saja.
***
Tepat pukul 12 malam ada yang mengetuk
pintu kamarku. Kuberanikan diri untuk membukanya dan melihat siapa yang berada
di baliknya. Wuuuss.. Angin berhembus tenang dan dingin, mungkin bibi lupa
menutup jendela di sebelah lemari kaca, atau apa ini? Aku mencium bau yang tak
asing lagi, parfum mama. Aku takut, tapi mama bilang aku tak boleh takut dengan
semua kegelapan ini, mama sudah membiasakanku dengan kegelapan-kegelapan yang
mama ciptakan, seperti mematikan lampu kamarku ketika hendak kembali ke kamar
beliau. Aku berjalan pelan-pelan sambil melihat kanan kiri. Tak ada
siapa-siapa.
Duk..aku menendang sesuatu, sebuah kotak
yang di dalamnya terdapat sebatang lilin beserta korek apinya, note book yang
biasa mama tuliskan lagu-lagu yang aku suka dan sepucuk surat, “Halo sayang,
mama tau anak mama itu pemberani. Mama punya permainan buat kamu, kamu tau kan
harus kemana setelah melihat apa yang mama berikan? Pergilah ke tempat itu dan
mama punya pesan untukmu, jangan nyalakan lampu, mama tahu kamu hebat. Cukup
gunakan apa yang mama berikan, Cantik”.
Deg..Mama? Apa yang akan mama berikan? Apa
ini yang beliau rencanakan sebelum pergi meninggalkanku. Aku tak tahu, tapi aku
masih ingin mengikuti permainan “mama”.
Aku melangkah terus dengan sebatang lilin
di tangan, menuju ke ruang tengah yang ada pianonya. Piano yang selalu ku
gunakan dengan mama. Menyanyikan lagu-lagu yang kusuka diiringi oleh mama.
Sebenarnya mama sudah sangat sabar mengajariku memainkan alat musik tersebut,
tapi dulu aku masih ingin mama yang memainkannya untukku.
Aku mulai melihat piano mama, lalu melihat
ada sesuatu di atas piano tersebut. Mug berwarna merah dengan tulisan “Ini
Punya Vea” di sebelah gagangnya. Bibi selalu membuatkan susu di gelas ini.
Memberikanku pada saat sarapan dan sebelum tidur, dan di sebelahnya ada
petunjuk dari “mama”. “Selamat datang di tempat pertamamu sayang, tak ada
apapun kan di perjalananmu ke sini? Ayo manis, kamu sudah tau kan harus
kemana?”. Dapur, tiba-tiba aku memikirkan tempat selanjutnya adalah dapur.
Pikiranku menuju dimana bibi membuatkan susu untukku, tapi bukankah dapur
terlalu jauh dari ruang tengah ini. Aku harus melewati ruang tengah, melewati
kamar papa, kemudian melewati kamar bibi barulah aku sampai di dapur .ini
terlalu jauh ma, Vea takut. Wuss.. Kembali ada angin yang berhembus dan kembali
aku mencium parfum mama, sangat khas.
Entah mengapa setelah kejadian itu aku
seperti mendapatkan semangat untuk melanjutkan “permainan” ini. Tak terasa aku
sudah melewati ruang tengah, kamar papa dan kamar bibi. Aku melihat ada yang
aneh di atas lemari es. Aku menuju ke arah lemari es dan mengambil sesuatu di
atasnya. Dasi dan peralatan kantor papa. “Papa tidak disiplin ya sayang,
menaruh barang penting di sembarang tempat”.
Munghkin papa terlalu capek sehabis kerja
kemudian meletakkan dasi dan peralatannya di atas lemari es lalu menuju kamar
untuk istirahat. Ah aku harus ke ruang kerja papa yang berada di lantai dua.
Papa, Papa mengganggu permainan Vea dengan “mama”. Vea harus ke atas dan
mengembalikan peralatan Papa pada tempatnya. Aku bereskan semua peralatan papa
lalu meuju ke ruang kerja beliau.
Setibanya di ruang kerja papa, kutaruh
semua alatnya di atas meja kerjanya dan membaca surat dari “mama”, ada pohon
kaktus di sana, tumbuh subur pada pot mungil yang papa belikan untukku saat
bisa menaiki sepeda tanpa bantuan. Aku dan mama suka menanam tanaman, mama
lebih suka menanam bunga-bunganya pada tanah kosong di belakang rumah, sekarang
sedang musimnya bunga-bunga yang mama tanam mengeluarkan kuncup, sedang aku
lebih suka menanam katus mungil di dalam pot bunga. Mama juga suka menanam
menanam bunga-bunganya dalam pot, tapi bunga-bunga yang sedikit memerlukan
cahaya, dan mama meletakkan bunga-bunga dalam pot itu di sebuah gudang kecil di
belakang rumah. “Kamu hampir menyelesaikan semuanya sayang!”
Gudang tempat mama meletakkan bunganya. Aku
harus ke sana. Wuss..kembali kucium parfum mama, dan baru kali ini aku
merinding karena mencium bau mama. Ma, apa mama melihat kerja kerasku?
Aku menuju gudang dengan opini-opini yang
ada di kepalaku. Berbagai kemungkinan aneh di luar batas pemikiran manusia. Aku
sudah berada di depan pintu gudang. Kutatap setiap sudut dari pintu itu.
“Ma, sudah lama Vea gak ke sini, maafkan
Vea tidak menjaga milik mama dengan baik ya Ma”
Kubuka pintu gudang pelan-pelan dan tiba-tiba
lampu gudang menyala. Ada papa di sana. Tertidur dengan kepala di atas meja luas,
meja yang terdapat kua tart cantik dan beberapa kotak hadiah. Kulihat muka
papa, beliau terlihat begitu lelah. Kemudian kulihat setiap sudut gudang ini.
Papa sudah berusaha keras menghias gudang ini menjadi indah. Papa melakukannya
ini untukku. Papa terbangun, kemudian menatapku bingung.
“Maaf, maafkan Papa. Papa sampai ketiduran
di sini, jam berapa ini? Papa tadi sudah mau membangunkanmu. Tapi Papa malah
tertidur di sini. Maaf, maafkan papa sayang. Selamat ulang tahun yang ke-15
anak perempuan papa. Maaf papa selalu tidak ada waktu buat Vea akhir-akhir ini”
Papa memeluk aku dengan eratnya, seperti
tidak ingin melepaskan putri kecilnya ini. Sepertinya papa benar-benar
merindukanku. Aku yang berubah menjadi pembangkang setelah ditinggal mama, tidak
bisa menerima Papa yang masih “asik” dengan pekerjaannya.
“Oh ya sayang? Apa kamu suka kejutan ini?
hmm bukan kejutan lagi ya? Papa sudah berusaha membuat semirip kebiasaan mama,
tapi seperinya papa gagal melakukannya, papa tertidur setelah mengerjakan
semuanya bahkan lupa membangunkanmu, hahaha, dan sekarang kamu malah sudah
berdiri disini, jadinya kamu gak kaget dong ya. yah sayang banget ya”
Aku ikut tertawa bersama papa, lalu memeluk
papa balik, memeluk dengan perasaan campur aduk. Tunggu dulu, kalau papa lupa
untuk membangunkanku, lalu siapa yang mengetuk pintu dan memberi
petunjuk-petunjuk hingga ke sini? Wuss..Angin berhembus kembali, dan parfum
mama tercium sangat kuat. Aku merasakan ada angin yang memelukku dari belakang,
anginnya dingin tapi terasa begitu hangat.
Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Ma.
Pustaka :
Febrin, Reva Aulia. 2013. Pelukan Angin dalam Angan. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.