Senin, 30 Desember 2013

JOMBLO...


Malam belum larut benar, jarum pendek berada di kisaran angka sembilan. Angin dengan lembut membelai tubuh kurusku. Aku sengaja membuka jendela kamar untuk menghirup udara, meskipun aku tahu angin malam tidak baik untuk kesehatanku. Setelah seharian bekerja, saraf mataku belum menunjukkan tanda akan datangnya kantuk. Kuambil undangan berwarna biru laut bertuliskan, Muhammad Fahri kelas XII-IPS 3.
Dengan semangat, kubaca tulisan angka romawi sambil anganku seakan melesat kenangan 20 tahun silam. Saat aku masih berseragam putih abu-abu, ketika aku sangat menikmati masa-masa itu, jelas tergambar wajah teman-teman anggota geng kelasku. Sandy, Udin, Riki dan Wendy. Oh ya, aku jadi teringat Nova, gadis hitam manis yang sempat aku taksir tapi keburu jadi pacar Riki. Kemudian Nana, cewek tinggi yang jago main basket juga pernah menghiasi malam-malamku di sela-sela waktu belajar. Yang terakhir, adalah siswi kelas X yang pernah juara olimpiade Matematika bernama Icha, dia bahkan pernah pinjam buku matematikaku karena rumahnya bertetangga denganku. Tapi semua cerita itu hanya berani kukisahkan melalui lembaran-lembaran diary-ku. Aku selalu gagal mengumpulkan keberanian untuk menyatakan isi hatiku. Aku juga sangat takut kalo ingat nasihat Ustadz Zainuri, guru Aqidah Akhlaq tentang dosa orang berpacaran. “Jangan mendekati zina karena itu adalah perbuatan keji”. Kalimat itu senantiasa terpatri rapi di palung hatiku. Aku pun enggan menceritakan pergulatan batinku kepada teman sebangkuku, Sandy.
Lalu waktu aku mengenyam bangku kuliah, aku hampir menikah dengan gadis pilihanku, semua rencana sudah disusun nyaris sempurna, tapi sungguh disesalkan, lima hari menjelang hari pernikahan kami, dia meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Aku sangat terpukul dan hampir putus asa.
Dua tahun kemudian, orang tuaku menawarkan gadis untuk kunikahi tetapi aku menolak karena merasa tidak ada chemistry. Kalau trauma, sepertinya tidak karena aku sadar bahwa takdir Tuhan tidak bisa ditolak. Aku selalu berpikir postitf bahwa Tuhan punya rencana yang lebih indah atas semua ini.
Rasanya hari begitu cepat berlalu dan aku belum juga menemukan pendamping yang cocok. Jodoh, rezeki dan mati memang misteri. Aku sering sedih melihat ibuku yang mulai renta, satu-satunya permintaan beliau yang belum bisa aku penuhi adalah menikah. Lebih pilu lagi ketika menyaksikan ibu menyongket baju-baju bayi untuk cucu-cucunya kelak. “Ibu ingin sekali menimang cucu”. Kalimat itu seakan menusuk batinku, perih sekali.
Tanganku kembali membolak balik sampul biru laut, tertulis jelas, REUNI AKBAR. Mengengang 20 tahun silam aku belajar di Jalan Letjend Suprapto 58 Kediri. Nama-nama temanku seakan bertaburan, kesana kemari seenaknya memenuhi anganku. Aku membayangkan bagaimana wajah teman-temanku, apakah tambah gemuk, berkumis, beruban dan seterusnya. Mata merahku kupaksa terpejam meski semilipun tak sudi mendekat.
Matahari bersinar begitu cerah, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku berkecamuk antara senang dan gugup karena bertemu  orang-orang dekat setelah 20 tahun berpisah. Aku sengaja datang terlambat. Aku khawatir aku pasti ditanya soal pendamping. Kata jomblo sungguh mengahantui pikiranku. Pasti kata itu akan kudengar hari ini. Aku masih jomblo, ih...ngeri sekali kedengarannya.
Dengan dada sedikit berdegup, aku mengayuh kakiku yang terasa berat menuju kerumunan massa yang hiruk pikuk menceritakan tentang keluarga mereka.
“Apa kabar Fahri? Mana nyonyamu? Kok sendirian saja”, sapa Sandy sambil menepuk pundakku seperti kebiasaan kami dulu. Aku masih menata kalimat sebagai alasan kesendirianku, Sandy melanjutkan kalimatnya.
“Bulan lalu aku baru khitankan anak sulungku, anakku yang kedua akan masuk SD tahun ini”.
“Kamu habis Khitanan? Kok gak ngundang kita-kita?” sahut Wendy yang sedang menunggu kelahiran anak ketiganya.
“Kalian pasti tidak perlu berkenalan dengan istriku karena kalian adalah teman sekelasnya. Nova Aprilia sekarang berganti nama menjadi Nyonya Nova Setiawan”, papar Riki Setiawan dengan bangganya.
“Bulan depan rencananya ada selapanan dan aqiqoh anak keduaku, istriku seminggu yang lalu melahirkan anak kedua kami, makanya dia absen sekarang, datang ya...” sambut Udin dengan berbinar. Sementara teman-teman berkicau tentang anak-anak mereka, aku hanya bisa bengong karena tak ada yang bisa kukisahkan.
Pulang dari tempat reuni, aku segera menuju kamar dan mengunci rapat-rapat lalu aku menangis tersedu-sedu. Ah, cengeng sekali lelaki macam aku, dalam tangisku, aku menghujat Tuhan, mengapa aku diberi ujian seberat ini. Aku sangat ingin segera menikah dan memberikan cucu bagi ibuku tercinta, tapi aku belum bisa. Di usiaku yang hampir kepala empat, aku masih harus menyandang status jomblo. Sebenarnya aku sedang dengan seorang gadis  teman sekantorku, tetapi ibu menolak tegas karena dia beda agama. Aku sangat mencintainya. Cinta memang complicated. Bahkan belum ada ilmuwan manapun yang mampu mendefinisikan arti cinta dengan valid. Awalnya aku tidak menyadari, tapi lama kelamaan sosok dia begitu istimewa di hatiku. Aku pernah berusaha meyakinkan ibu bahwa aku akan membimbingnya menjadi muslimah, tapi beliau tetap bersikukuh tidak setuju.
Air mataku belum kering ketika tiba-tiba pintu kamarku diketuk seseorang. Dengan buru-buru kuseka air mataku sambil kubuka pintu. Muncul wajah perempuan paruh baya yang mulai terlihat keriput di wajahnya, ibu. Seorang ibu selalu tahu apa yang dirasakan anaknya tanpa harus si anak bercerita. Dengan lemah lembut, ibu berkata,”Emak baru saja bertemu Ustadz Zainuri, guru kamu Aliyah dulu. Beliau menanyakan kabarmu. Emak bilang kamu masih jomblo dan ingin segera menikah. Beliau menyarankan agar kamu melakukan tiga hal secara rutin, sholat malam, banyak sedekah, dan banyak istighfar, insyaAllah hajatmu akan dikabulkan”. Tanpa menunggu jawabku yang masih terisak, ibu beranjak pelan dengan merapatkan daun pintu kamarku.
Tiga bulan berlalu, aku berusaha melakukan apa yang Ustadz Zainuri anjurkan. Suatu sore yang indah, secerah mendung sore sehabis hujan, Nokia Asha-ku berdering. Nomor asing, batinku. “Hallo, Assalamualaikum, maaf dengan siapa saya bicara?”
Waalaikumsalam, ini dengan Ustadz Zainuri, Fahri masih ingat kan? Tolong kamu ke rumah saya selepas maghrib nanti, ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Datang ya, maaf saya lagi di jalan, assalamualaikum” tut tut tut...
Suara di kejauhan langsung putus sebelum aku menjawab salam. Hatiku jadi berdebar, tumben sekali beliau menelponku dan menyuruhku ke rumahnya. Ah, aku tidak mau berpikir macam-macam. Kalau disuruh ustadznya ya harus nurut.
Rumah Ustadz Zainuri memang agak jauh dari rumahku, jadi aku perlu sekitar 45 menit untuk sampai. Setibanya di rumah, telah menunggu dua orang lelaki paruh baya, seorang Ustadz Zainuri dan satunya sepertinya aku kenal. Aku mencoba mengumpulkan memori di otakku tapi bleum juga ketemu. Ustadz Zainuri langsung membuka percakapan. “Nak Fahri masih ingat dengan Bapak di sebelah saya?” Ustadz Zainuri berkata sambil menoleh ke arah lelaki yang mulai terlihat uban di balik kopyahnya.
“Saya Sudirman, dulu kita bertetangga, lalu kami pindah ke Solo karena saya harus pindah tugas. ” Kalimat beliau pelan menunjukkan kesahajaannya. Beliau adalah ayah Icha, adik kelasku yang pernah juara olimpiade Matematika itu. Rupanya beliau masih mengenaliku meskipun lama kami tidak bertemu.
“Icha sudah menikah selama 10 tahun dan tidak dikaruniai anak, sedang suaminya telah meninggal setahun yang lalu. Saya sudah bertemu ibu Nak Fahri, beliau ingin saya menanyakan langsung apakah Nak Fahri bersedia menikah dengan anak kami, Icha” sambung beliau panjang lebar sampai aku tak diberi kesempatan menyela. Subhanalloh, hatiku bergetar hebat, sampai mulutku terasa kaku untuk mengucapkan sepatah kata pun. “Iya”.
Sesampai di rumah, kubuka lagi buku diary-ku 20 tahun silam. Masih jelas tertulis nama Icha yang kutulis dengan pena merah dihiasi spidol biru. I-C-H-A. GAK TERLALU CANTIK, TAPI DIJAMIN GAK BOSAN PAS MEMANDANGNYA. Lucu sekali, lebih lucu dari komedi apapun, aku sampai ngakak sendiri di kamar. Suaraku begitu keras sampai aku tak mendengar ibu berkali-kali mengetuk pintu. “Fahri, Fahri... Ada penjahit yang akan mengukur baju pengantinmu”, suara ibu dengan nada penuh kebahagiaan.

Pustaka :

Suliha S.Hum, Ifah. 2013. Jomblo. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.

Minggu, 29 Desember 2013

Baruuu :)


Karya : Nur Laili Mazidah
Mengunjungi sebuah pameran seni adalah hal yang paling kami gemari, entah itu pameran seni musik, seni tari, ataupun pameran seni lainnya. Aku dan sahabatku sudah lama menggemari kegiatan ini. Bahkan hampir setiap ada pameran kami jarang absen mengunjunginya, tapi pernah sesekali kami absen karena terkadang pamerannya digelar di luar kota atau ketika salah satu di antara kami ada yang sedang sibuk atau sakit.
“Apa kamu sudah siap? Kalau sudah aku akan berangkat untuk menjemputmu”. Telepon genggam yang semula diam tiba-tiba berdering dan nada dering yang khas dari telepon itu mengagetkan Nima yang sedang asyik berdandan di depan cermin.
“Sudah bosss, aku sudah siap. Yuk cap cus ke rumahku...!!!”. Pesan singkat pun ku terima dari Nima dan aku bergegas untuk menjemputnya.
Hari ini kami akan mengunjungi sebuah pameran seni lukis yang kebetulan diadakan di kota kami. Beruntung karena pameran kali ini tidak seperti biasanya yang diadakan pada hari-hari sekolah, kali ini pamerannya dilaksanakan pada hari Minggu. Jadi aku dan Nima tak perlu repot-repot pergi ke pameran setelah pulang sekolah, secara hari ini adalah hari Minggu.
“Hayooo, nglamun aja. Yuk berangkat,,,!!!”
“Rayaaa, kaget tau. Baru nongol kamu, hampir aja aku mau telefon. Udah luntur nih bedak aku gara-gara nungguin kamu. Jamuran tau...!!! Ah...”
“Haha, maaf deh non. Tadi macet tuh di jalan, sebal sendiri juga aku kena macet. Huh...”
“Ya udah deh, yuk berangkat. Keburu siang nih”
“He’em deh, ayo,.,.,!!!”
Tak jauh dari rumah Nima, aku dan Nima sudah sampai di depan gedung hotel tempat dimana pameran digelar. Aku segera memarkirkan motorku di area parkir sedangkan Nima membeli tiket masuk di lobi hotel.
“Ayo Ray, aku sudah tak sabar untuk melihat koleksi-koleksi lukisan para seniman bangsa...!!! Secara ini kan pertama kalinya kita mengunjungi pameran seni lukis, biasanya saja pameran lukisan diadakan di luar kota”
“Iya Nima... Sabar, tunggu dulu sebentar, ini kita harus mencari dulu mana yang lukisannya sedang sepi pengunjung, biar nggak dorong-dorongan dan nggak jatuh juga”
“Iya deh iya, aku nurut aja sama kamu, mana dulu yang harus dilihat”
“Nah gitu dong, harus nurut sama aku. Nanti kalau dorong-dorongan bisa keringetan trus bedak kamu luntur deh. Hahaaa...!!!”
“Eh dasar kamu ya, awas nanti kalau udah nyampek rumah,,,!!!”
“Haha, udah deh. Disana tuh ada lukisan sedang sepi, ayo kita kesana...!!!”
“Oh iya, ayo deh...!!!”
Suhu ruangan mulai panas, cahaya matahari pun sudah nampak dari dalam ruangan. Ini menunjukkan kalau waktu sudah siang. Tak terasa aku dan Nima sudah berkeliling melihat semua lukisan, hanya satu lukisan yang belum kami lihat karena sejak tadi pengunjung masih banyak yang mengerumuni lukisan itu. Aku dan Nima hanya berdiri, terdiam sambil melihat kerumunan pengunjung yang tak kunjung beranjak pergi dari lukisan yang satu itu.
“Kapan akan sepi lukisan itu?”, gumamku dalam hati. “Aha, aku punya ide,,,!!!”
“Eh kebiasaan deh kamu Raya, selalu ngagetin aja. Ide apa? Bagus apa nggak idenya?”
“Eh hehehe, ya maaf, terlalu seneng sih. Nggak tau sih ide ini akan berhasil atau tidak, tapi usaha dulu lah...!!! Hehe”
“Ya udah deh, apa idenya? Kasih tau aku dong...!!!”
“Kamu tunggu dulu disini, nanti aku kembali”
“Loh mau kemana?”
“Udah tunggu aja disitu...!!!”
“Huh, dasar...”
Aku berlari untuk mencari meja panitia dan akhirnya ketemu juga setelah susah payah mencarinya.
“Ada yang bisa saya bantu dik?”, tanya seorang panitia laki-laki kepadaku.
“Oh iya mas, saya mau minta tolong ambilkan foto lukisan yang itu, yang banyak sekali pengunjungnya...!!!”, jawabku sambil menunjuk lukisannya.
“Waduh kalau masalah potret-memotret saya tidak ahli dik, tapi tenang saja, ada teman saya yang ahli, saya panggilkan dulu ya...!!! Adik silakan duduk saja dulu...!!!”
“Oh iya mas”
Aku segera duduk dan mengambil botol air minum di tasku karena suhunya semakin panas, apalagi aku habis lari-larian. Dan tiba-tiba ada yang menepuk bahuku, sesegera mungkin aku berdiri dan melihat ke belakang. Ternyata panitia yang tadi membantuku dan datang bersama temannya.
“Ini temanku dik, dia yang ahli masalah potret-memotret, mungkin dia bisa bantu adik. Kalau begitu saya tinggal dulu ya, masih banyak tugas ini”
“Oh iya mas, terima kasih sudah membantu”
Panitia itu pun pergi meninggalkan kami berdua, dan aku pun menyerahkan camera digitalku ke panitia yang sedang berdiri di hadapanku saat ini.
“Tadi sudah dikasih tau sama masnya yang tadi, jadi saya langsung saja mengambil foto lukisan itu dulu ya dik, kamu tunggu aja dulu disini, nanti kalau sudah selesai saya kembali lagi kesini”,
“Oh iya mas, saya tunggu disini”
Panitia itu pun pergi meninggalkan aku sendiri, terpaksa aku hanya bisa memainkan ponselku saja sembari menunggunya selesai mengambil gambar. Setelah menunggu beberapa saat, panitia itu pun kembali dan lekas menunjukkan hasil jepretannya kepadaku. Kami berdua terhanyut oleh suasana, asyik ngobrol banyak tentang kamera ataupun yang lainnya. Tak terasa aku sudah lama meninggalkan Nima yang tadi menunggu aku di ruangan pameran yang lain.
“Rayaaa, kok lama banget sih. Aku cariin eh taunya disini. Waaah hayooo siapa itu...???”, ejek Nima sambil menunjuk panitia yang berada di depanku.
“Hussh, kamu ini ya. Ini tadi mas panitia yang membantu aku mengambil gambar lukisan yang itu, yang dari tadi ramai pengunjungnya”, jawabku dengan nada agak kesal.
“Ooowww, gituuu, hehe ya maaf, maaf ya mas...!!!”
“Iya dik, nggak papa kok”
“Ayo pulang, udah siang ini, udah selesai juga kan kita lihat-lihatnya,,,???”, ajak Nima dengan rengekan khasnya.
“Ayo Nim, iya nih nggak terasa udah siang...!!! Kami pulang dulu ya mas, terima kasih bantuannya”, ucapku sembari meninggalkan panitia itu.
“Dik, siapa namamu,,,???”, tiba-tiba panitia itu memanggilku. Segera aku menoleh ke belakang dan menyebutkan namaku, “Raya mas, anda...???”. Panitia itu tak menyebutkan namanya, namun hanya menunjuk nama dada yang tertera di bajunya.
“Oh iya mas, terima kasih sekali lagi, senang bertemu dengan anda, sampai ketemu dilain hari...”

Aku dan Nima pun menuju area parkir dimana motorku terparkirkan. Secepat mungkin aku mengendarai motorku karena sudah tak sabar ingin menulis semua cerita hari ini di buku diary. Tiba di rumah Nima, aku segera minta izin untuk lekas pulang. Sesampainya di rumah aku bergegas menuju kamar dan meraih buku diaryku. Ku tulis semua cerita hari ini. Untaian kata demi kata mengantarkan kegembiraanku saat ini. Dan akhir kata untuk hari ini, tertuliskan “KARENA CAMDIG PERTEMUAN ITU ADA DAN SETIAP PERTEMUAN SELALU ADA PERPISAHAN”.

Jumat, 11 Oktober 2013

*NEW EDITION*




Sambil terus menatap benda-benda yang ada di depannya, benda-benda yang menurut orang adalah benda yang menjijikkan, benda tersebut adalah sampah. Tempat yang seharusnya anak seusianya tak datang ke situ. Semua tak ia hiraukan demi beberapa keping uang. Dia terus mencari dan mengais benda-benda tersebut sambil memisahkan mana yang terbuat dari plastik mana yang terbuat dari kertas. Dia layaknya karam dari luar tapi sebenarnya hatinya rapuh. Ada beban yang ia pikirkan dan ada masalah yang ia hadapi. Setelah merasa beban di punggungnya sudah tak bisa ditahan lagi ia memutuskan untuk kembali dan menyerahkan hasilnya kepada pengepul. Setelah berpamitan kepada teman sebaya dan di tempat kumuh itu. Ia kembali ke rumahnya dengan beberapa keping uang di tangannya. Ia melewati gang-gang sempit agar segera sampai di rumahnya, sampailah ia pada sekumpulan ibu-ibu yang tengah berbelanja pada tukang sayur keliling. Ada seseorang yang sangat dia kenal di situ. Orang itu menatap matanya dengan tajam, mengisyaratkan kalau ia meyuruh gadis kecil masuk ke dalam rumah yang sederhana.


“Lihatlah dirimu, berpenampilan kumuh dan dekil” kata orang tersebut.
“Kamu harusnya berfikir kenapa orang-orang menghinamu” kata yang lain.
Gadis kecil hanya menunduk. Matanya memanas. Ia pun menitihkan air mata. Cemooh yang harus dia terima. Kata-kata kasar yang harus dia dengar karena perbedaan status. Dia harus mengalah demi dirinya, berkata bahwa tak ada kata benci pada orang tersebut pada diri gadis kecil. Ia segera masuk ke dalam rumah, membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam untuk dia. Setelah semuanya selesai, ia menata semua makanan di meja makan.
“Kamu pintar sekali memasak, masakanmu lezat” komentar seseorang.
Gadis kecil hanya tersenyum mendengarnya. Dan sampailah pada suatu malam. Gadis kecil mencoba untuk bangun dan berdialog berdua dengan Tuhannya.
“Apa salahku Ya Allah? Kenapa dia berbuat seperti ini padaku? Sesaat dia sangat baik padaku tapi banyak kali ia menjatuhkanku. Dia membicarakanku layaknya sampah!. Salahkah keberadaanku? Tak taukah dia, bahwa kerja kerasku selama ini hanya untuknya?” Tanya gadis kecil.
Pagi hari ketika gadis kecil menyapu halaman rumahnya. Ia harus mendengar kata-kata itu lagi. Kata-kata yang selalu membuatnya tak bisa berhenti menangis.
“Tahu tidak kemarin dia mencuri makanan di warung pojok perumahan itu” kata seseorang sambil menunjuk ke arah gadis kecil.
“Benarkah? Bukannya dia anak yang pendiam?” jawab seseorang yang berada di sebelahnya.
“Aku tidak melakukan hal itu!” jawab gadis kecil atas tuduhan tersebut.
Gadis kecil hanya dapat menangis saat tahu orang tersebut berbuat seperti itu. Dia hanya berkata pada Tuhan bahwa dia menyayangi orang yang selalu memaksanya mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Walau begitu gadis kecil itu tetap mendoakannya dan berusaha membuatnya bahagia. Dalam tangisnya dia berkata “aku menyayangimu selalu, bahkan aku rela mengorbankan hidupku jika itu membuatmu bahagia”
Kalian tahu siapa orang itu? Dia adalah “ibunya”. Hingga suatu hari ibunya tersadar akan perbuatannya terhadap gadis kecil. Ibunya menangis saat memeluk gadis kecil sambil menyanyikan senandung yang sangat disukai gadis kecil.
“Maafkan ibu, bukan maksud ibu berbuat seperti itu. Ibu hanya belum siap merawatmu setelah ayahmu meninggalkan kita berdua”
Malam yang paling bermakna menurut gadis kecil, walaupun terselip tangis diantara di badan ibunya. Gadis kecil amat bersyukur karena ia sudah memiliki seseorang yang akan menyayanginya setiap hari. Seperti hari-hari kemarin yang dia lakukan yaitu menyayangi ibunya.


Pustaka :

Febrin, Reva Aulia. 2012. Gadis Manis. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.

Jumat, 04 Oktober 2013

RINDU PURNAMA


Karya : Nur Laili Mazidah
Entah apa yang sedang dilakukan gadis kecil ini di samping jendela kamarnya, membiarkan angin malam berhembus membelai rambut indahnya. Sambil memandangi foto seseorang yang sangat ia harapkan untuk bisa datang dihadapannya. Namun ia tahu kalau hal itu mustahil akan terjadi.
Malam kian larut, namun mata sipit Niki belum menunjukkan tanda akan datangnya kantuk. Dan masih memandangi gambar yang ada di dalam foto itu yang tak lain adalah sahabatnya, air yang tersimpan di kantong matanya memaksa untuk keluar dari kelopak mata gadis manis itu.
Tiara, begitulah sapaan yang kerap diceletukkan oleh Niki untuk sahabat karibnya itu. Sahabat yang selalu membuat canda tawa di kehidupan Niki. Selalu mengembalikan senyuman Niki ketika ia sedang terpuruk. Dan yang paling membanggakannya, Tiara telah mengubah semua kehidupannya. Namun kini tinggallah kenangan, karena sosok Tiara yang periang, penuh canda tawa di hidupnya, dan tak pernah mengenal putus asa, sekarang telah tiada meninggalkan semua orang yang menyayanginya. Hanya kenangan-kenangan indah yang masih tersimpan rapi di memori fikiran Niki. Dan hanya pada diri Tiara lah sebuah rahasia besar tersimpan dari seorang Niki. Dibalik keteguhannya, ternyata Niki mengidap sebuah penyakit akut yang menyerang hepar-nya. Hanya Tiara yang mengetahui itu, tak ada orang lain yang tahu, bahkan orang tua Niki sekalipun.
Karena Tuhan sangat sayang pada Niki, dikirimkanlah sosok Tiara di kehidupannya. Untuk menemani dan saling memahami. Bahkan sampai di ujung usianya pun Tiara masih memikirkan kehidupan Niki jika ia telah tiada. Dan benar, sebelum Tiara meninggalkan semua orang yang menyayanginya, terlebih Niki, ia menuliskan dua pucuk surat yang ditujukan kepada Niki dan ayah Niki.
Entah apa isi surat yang ditulis oleh Tiara, Niki sangat bersyukur karena kehidupannya kini telah berubah. Ayah Niki yang dulunya tak pernah menghiraukan perasaan putrinya, selalu egois, keras kepala, sombong, kini berubah menjadi sosok yang penyayang, lembut, dan tak egois lagi. Rahasia yang dahulu tak pernah sampai di telinga orang tua Niki, kini telah diketahui oleh semua orang, termasuk kedua orang tua Niki.
Lebih sempurna lagi kebahagiaan Niki ketika ia akan terbang ke negeri seberang untuk berobat. Dan pengorbanan orang tuanya pun tak sia-sia, akhirnya Niki telah dinyatakan sehat setelah menjalani operasi hepar.
Terlelaplah Niki di atas tempat tidurnya yang juga masih memegang foto indah sang sahabat. Dipeluk dan didekap dengan eratnya. Tak akan pernah ada sahabat yang bisa sesempurna Tiara bagi Niki. Hanya Tiara, purnama yang selalu menampakkan cahayanya ketika ia sedang terpuruk.
 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner