Jumat, 11 Oktober 2013

*NEW EDITION*




Sambil terus menatap benda-benda yang ada di depannya, benda-benda yang menurut orang adalah benda yang menjijikkan, benda tersebut adalah sampah. Tempat yang seharusnya anak seusianya tak datang ke situ. Semua tak ia hiraukan demi beberapa keping uang. Dia terus mencari dan mengais benda-benda tersebut sambil memisahkan mana yang terbuat dari plastik mana yang terbuat dari kertas. Dia layaknya karam dari luar tapi sebenarnya hatinya rapuh. Ada beban yang ia pikirkan dan ada masalah yang ia hadapi. Setelah merasa beban di punggungnya sudah tak bisa ditahan lagi ia memutuskan untuk kembali dan menyerahkan hasilnya kepada pengepul. Setelah berpamitan kepada teman sebaya dan di tempat kumuh itu. Ia kembali ke rumahnya dengan beberapa keping uang di tangannya. Ia melewati gang-gang sempit agar segera sampai di rumahnya, sampailah ia pada sekumpulan ibu-ibu yang tengah berbelanja pada tukang sayur keliling. Ada seseorang yang sangat dia kenal di situ. Orang itu menatap matanya dengan tajam, mengisyaratkan kalau ia meyuruh gadis kecil masuk ke dalam rumah yang sederhana.


“Lihatlah dirimu, berpenampilan kumuh dan dekil” kata orang tersebut.
“Kamu harusnya berfikir kenapa orang-orang menghinamu” kata yang lain.
Gadis kecil hanya menunduk. Matanya memanas. Ia pun menitihkan air mata. Cemooh yang harus dia terima. Kata-kata kasar yang harus dia dengar karena perbedaan status. Dia harus mengalah demi dirinya, berkata bahwa tak ada kata benci pada orang tersebut pada diri gadis kecil. Ia segera masuk ke dalam rumah, membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam untuk dia. Setelah semuanya selesai, ia menata semua makanan di meja makan.
“Kamu pintar sekali memasak, masakanmu lezat” komentar seseorang.
Gadis kecil hanya tersenyum mendengarnya. Dan sampailah pada suatu malam. Gadis kecil mencoba untuk bangun dan berdialog berdua dengan Tuhannya.
“Apa salahku Ya Allah? Kenapa dia berbuat seperti ini padaku? Sesaat dia sangat baik padaku tapi banyak kali ia menjatuhkanku. Dia membicarakanku layaknya sampah!. Salahkah keberadaanku? Tak taukah dia, bahwa kerja kerasku selama ini hanya untuknya?” Tanya gadis kecil.
Pagi hari ketika gadis kecil menyapu halaman rumahnya. Ia harus mendengar kata-kata itu lagi. Kata-kata yang selalu membuatnya tak bisa berhenti menangis.
“Tahu tidak kemarin dia mencuri makanan di warung pojok perumahan itu” kata seseorang sambil menunjuk ke arah gadis kecil.
“Benarkah? Bukannya dia anak yang pendiam?” jawab seseorang yang berada di sebelahnya.
“Aku tidak melakukan hal itu!” jawab gadis kecil atas tuduhan tersebut.
Gadis kecil hanya dapat menangis saat tahu orang tersebut berbuat seperti itu. Dia hanya berkata pada Tuhan bahwa dia menyayangi orang yang selalu memaksanya mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Walau begitu gadis kecil itu tetap mendoakannya dan berusaha membuatnya bahagia. Dalam tangisnya dia berkata “aku menyayangimu selalu, bahkan aku rela mengorbankan hidupku jika itu membuatmu bahagia”
Kalian tahu siapa orang itu? Dia adalah “ibunya”. Hingga suatu hari ibunya tersadar akan perbuatannya terhadap gadis kecil. Ibunya menangis saat memeluk gadis kecil sambil menyanyikan senandung yang sangat disukai gadis kecil.
“Maafkan ibu, bukan maksud ibu berbuat seperti itu. Ibu hanya belum siap merawatmu setelah ayahmu meninggalkan kita berdua”
Malam yang paling bermakna menurut gadis kecil, walaupun terselip tangis diantara di badan ibunya. Gadis kecil amat bersyukur karena ia sudah memiliki seseorang yang akan menyayanginya setiap hari. Seperti hari-hari kemarin yang dia lakukan yaitu menyayangi ibunya.


Pustaka :

Febrin, Reva Aulia. 2012. Gadis Manis. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.

0 komentar:

Posting Komentar

 

CERITA KITA. Design By: SkinCorner