Sambil terus menatap benda-benda yang ada di depannya, benda-benda
yang menurut orang adalah benda yang menjijikkan, benda tersebut adalah sampah.
Tempat yang seharusnya anak seusianya tak datang ke situ. Semua tak ia hiraukan
demi beberapa keping uang. Dia terus mencari dan mengais benda-benda tersebut
sambil memisahkan mana yang terbuat dari plastik mana yang terbuat dari kertas.
Dia layaknya karam dari luar tapi sebenarnya hatinya rapuh. Ada beban yang ia
pikirkan dan ada masalah yang ia hadapi. Setelah merasa beban di punggungnya
sudah tak bisa ditahan lagi ia memutuskan untuk kembali dan menyerahkan
hasilnya kepada pengepul. Setelah berpamitan kepada teman sebaya dan di tempat
kumuh itu. Ia kembali ke rumahnya dengan beberapa keping uang di tangannya. Ia
melewati gang-gang sempit agar segera sampai di rumahnya, sampailah ia pada
sekumpulan ibu-ibu yang tengah berbelanja pada tukang sayur keliling. Ada
seseorang yang sangat dia kenal di situ. Orang itu menatap matanya dengan
tajam, mengisyaratkan kalau ia meyuruh gadis kecil masuk ke dalam rumah yang
sederhana.
“Kamu harusnya berfikir kenapa orang-orang menghinamu” kata yang
lain.
Gadis kecil hanya menunduk. Matanya memanas. Ia pun menitihkan air
mata. Cemooh yang harus dia terima. Kata-kata kasar yang harus dia dengar
karena perbedaan status. Dia harus mengalah demi dirinya, berkata bahwa tak ada
kata benci pada orang tersebut pada diri gadis kecil. Ia segera masuk ke dalam
rumah, membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam untuk dia. Setelah
semuanya selesai, ia menata semua makanan di meja makan.
“Kamu pintar sekali memasak, masakanmu lezat” komentar seseorang.
Gadis kecil hanya tersenyum mendengarnya. Dan sampailah pada suatu
malam. Gadis kecil mencoba untuk bangun dan berdialog berdua dengan Tuhannya.
“Apa salahku Ya Allah? Kenapa dia berbuat seperti ini padaku?
Sesaat dia sangat baik padaku tapi banyak kali ia menjatuhkanku. Dia
membicarakanku layaknya sampah!. Salahkah keberadaanku? Tak taukah dia, bahwa
kerja kerasku selama ini hanya untuknya?” Tanya gadis kecil.
Pagi hari ketika gadis kecil menyapu halaman rumahnya. Ia harus
mendengar kata-kata itu lagi. Kata-kata yang selalu membuatnya tak bisa
berhenti menangis.
“Tahu tidak kemarin dia mencuri makanan di warung pojok perumahan
itu” kata seseorang sambil menunjuk ke arah gadis kecil.
“Benarkah? Bukannya dia anak yang pendiam?” jawab seseorang yang
berada di sebelahnya.
“Aku tidak melakukan hal itu!” jawab gadis kecil atas tuduhan
tersebut.
Gadis kecil hanya dapat menangis saat tahu orang tersebut berbuat
seperti itu. Dia hanya berkata pada Tuhan bahwa dia menyayangi orang yang
selalu memaksanya mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Walau begitu gadis
kecil itu tetap mendoakannya dan berusaha membuatnya bahagia. Dalam tangisnya
dia berkata “aku menyayangimu selalu, bahkan aku rela mengorbankan hidupku jika
itu membuatmu bahagia”
Kalian tahu siapa orang itu? Dia adalah “ibunya”. Hingga suatu
hari ibunya tersadar akan perbuatannya terhadap gadis kecil. Ibunya menangis
saat memeluk gadis kecil sambil menyanyikan senandung yang sangat disukai gadis
kecil.
“Maafkan ibu, bukan maksud ibu berbuat seperti itu. Ibu hanya
belum siap merawatmu setelah ayahmu meninggalkan kita berdua”
Malam yang paling bermakna menurut gadis kecil, walaupun terselip
tangis diantara di badan ibunya. Gadis kecil amat bersyukur karena ia sudah
memiliki seseorang yang akan menyayanginya setiap hari. Seperti hari-hari
kemarin yang dia lakukan yaitu menyayangi ibunya.
Pustaka
:
Febrin, Reva Aulia. 2012. Gadis Manis. Kediri : Majalah IQRO' MAN 3 KEDIRI.